Saturday, September 28, 2013

BRONKIEKTASIS

I.                   PENDAHULUAN
Bronkiektasis diperkenalkan pertama kali oleh Laennec pada tahun 1989. Bronkiektasis dulu dikenal sebagai penyakit yang menyerang orang yang sudah berusia tua, namun saat ini telah dikenal secara luas dengan frekuensi yang meningkat di seluruh dunia dan dapat diderita oleh pasien dengan spektrum usia yang luas baik laki-laki dan perempuan, tetapi prevalensi tertinggi adalah pada wanita berusia tua. Pasien dengan bronkiektasis menderita batuk kronis berdahak yang produktif dan pertumbuhan bakteri yang nyata yang mengakibatkan penurunan fungsi paru, meningkatnya angka kesakitan dan dapat menyebabkan kematian dini (O’Donnel, 2008).
Di negara barat, prevalensi bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3% di antara populasi. Kekerapan itu mengalami penurunan setelah antibiotik banyak dipakai untuk mengobati penyakit infeksi paru. Di Indonesia belum ada laporan tentang angka yang pasti mengenai penyakit ini (Rahmatullah, 2009).
Dampak khusus bagi sistem kesehatan mengalami peningkatan. Di Amerika Serikat, angka rawat inap untuk kasus bronkiektasis meningkat antara tahun 1993 – 2006. Dan saat ini mencapai angka 16,5/100.000 penduduk per tahun (Maguire, 2012). Peningkatan ini prevalensi ini seiring dengan semakin meluasnya penggunaan high resolution chest CT (HRCT) (O’Donnel, 2008).
Terapi untuk bronkiektasis adalah multimodal, dan termasuk terapi dengan antibiotik, antiinflamasi, dan pembersihan jalan napas. Prognosis pasien dengan bronkiektasis bervariasi. Pendekatan yang berfokus pada pasien dibutuhkan untuk dapat mengevaluasi dan merawat setiap individu yang menderita bronkiektasis (O’Donnel, 2008).

II.                DEFINISI
Bronkiektasis merupakan dilatasi abnormal dari bronkus dan bronkiolus oleh karena siklus infeksi dan inflamasi yang berulang (O’Donnel, 2008). Bronkiektasis ditandai dengan adanya dilatasi (ektasis) dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik, persisten, atau ireversibel. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen-elemen elastis, otot polos bronkus, tulang rawan, dan pembuluh-pembuluh darah. Bronkus yang terkena umumnya adalah bronkus kecil, sedangkan bronkus besar umumnya jarang (Rahmatullah, 2009).

III.             EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan review klaim asuransi, diperkirakan bahwa 110.00 orang penduduk di Amerika Serikat saat ini dirawat dengan bronkiektasis non-kistik fibrosis. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Weyker et al, prevalensi di Amerika Serikat 4,2 per 100.000 orang berusia 18 – 34 tahun dan 272  per 100.000 orang di antara penduduk berusia >75 tahun. Peningkatan ini prevalensi ini berkesinambungan dengan semakin meluasnya penggunaan high resolution chest CT (HRCT). Ditambah lagi, ada peningkatan jumlah pasien dengan infeksi paru Nontuberculosis mycobacterium (NTM) yang didiagnosis juga menderita bronkiektasis. Di luar Amerika Utara, bronkiektasis merupkan masalah klinis yang umum dijumpai, tapi prevalensi di dunia belum diketahui. Secara mendunia, kelompok demografis tertentu diketahui memiliki risiko yang meningkat untuk perkembangan bronkiektasis, termasuk individu yang memiliki akses buruk ke pelayanan kesehatan atau adanya infeksi paru yang tinggi pada anak (O’Donnel, 2008).

IV.             ETIOLOGI
Penyebab bronkiektasis sampai sekarang belum jelas (Rahmatullah, 2009). Bahkan dengan uji dan pemeriksaan terkini secara klinis, laboratorium, dan patologi, hingga 50-80% kasus bronkiektasis penyebabnya tidak diketahui. Terdapat faktor multipel yang dipengaruhi oleh genetik, anatomis, dan sistemik yang menyebabkan bronkiektasis (O’Donnel, 2008). Pada kenyataannya kasus-kasus bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat.
1.      Kelainan kongenital
Bronkiektasis timbul sejak masih dalam kandungan. Faktor yang berperan adalah genetik dan perkembangan fetus.
2.      Kelainan didapat
Pada kelainan yang didapat, bronkiektasis bisa timbul karena infeksi dan obstruksi bronkus (Rahmatullah, 2009).
Etiologi dan Faktor yang Berhubungan dengan bronkiektasis adalah sebagai berikut:
-          Penyebab kongenital (misalnya Sindroma Mounier-Kuhn, Sindroma Young)
-          PPOK dan merokok
-          Fibrosis Kistik
-          Disfungsi mukosilier (misalnya diskinesia silier primer)
-          Post obstruksi (misalnya karena corpus alienum)
-          Post infeksi (misalnya TB, Adenovirus, Pneumonia rekuren)
-          Aspergilosi bronkopulmoner karena alergi
-          Penyakit Inflamasi Sistemik (misalnya Artritis Rematoid, Sarcoidosis) (Maguire, 2012).
Subagyo (2013)  menyebutkan bahwa banyak penyebab yang menjadi etiologi maupun faktor predisposisi terjadinya bronkiektasis, antara lain:
1.      Infeksi primer (bakteri, jamur dan virus)
Bronkiektasis mungkin sebagai sequel dari nekrosis setelah infeksi akibat pengobatan yang buruk atau tidak diobati sama sekali. Infeksi dapat disebabkan oleh kuman tipikal seperti Klebsiela, Staphilococcus aureus, Mycobacterium tuberculosis, Mycoplasma pneumonia, measles, pertusis, influenza, herpes simplex dan beberapa tipe adenovirus. Pada anak respiratory syncytial virus dapat menyebabkan bronkiektasis. Bronkiektasis juga bisa juga disebabkan oleh Mycobacterium avium complex (MAC) yang terjadi pada penderita HIV dan imunokompromis.
2.      Obstruksi bronkus
Tumor endobronkial, benda asing atau stenosis bronkus karena penekanan akibat kelenjar getah bening leher yang membesar dapat menyebabkan bronkiektasis. Sindrom lobus tengah kanan merupakan bentuk spesifik obstruksi bronkus yang akhirnya akan menyebabkan bronkiektasis karena angulasi abnormal lobus tersebut. Timbulnya obstruksi bronkus dan infeksi kronik merupakan faktor predisposisi terbentuknya bronkiektasis.
3.      Fibrosis kistik
Ini merupakan penyakit autosomal resesif dengan kelainan utama pada paru dengan gambaran umum bronkiektasis. Bronkiektasis berhubungan dengan fibrosis kistik terjadi secara sekunder karena terkumpulnya mukus pada jalan napas bagian atas dan terjadinya infeksi kronis.
4.      Sindroma Young
Gambaran klinis sama denga fibrosis kistik. Sindrom ini ditemukan bronkiektasis disertai sinusitis dan azoospermia, sering terjadi pada pria usia pertengahan.
5.      Diskinesia siliar primer
Manifestasinya adalah immotile dan/atau diskinetik silia dan spermatozoa. Keadaan ini menyebabkan gangguan bersihan mukosilier infeksi berulang dan akhirnya terjadi bronkiektasis. Sindrom Kartagener dengan trias gambaran klinik berupa situs inversus, sinusitis dan bronkiektasis adalah sebagai akibat imobilitas silia pada saluran napas.
6.      Aspergilosis bronkopulmoner alergi
Merupakan reaksi hipersensitiviti terhadap inhalan antigen Aspergilus dengan gambaran bronkospasme, bronkiektasis dan reaksi imunologi oleh spesies Aspergilus. Dikatakan aspergilus bronkopulmoner alergi adalah apabila pada penderita tersebut ditemukan batuk produktif dan juga memiliki riwayat asma yang tidak respons dengan terapi konvensional.
7.      Keadaan imunodefisiensi
Imunodefisiensi dapat terjadii secara congenital maupun didapat. Imunodefisiensi ini melibatkan gangguan gangguan fungsi limfosit B. penderita dengan hipogammaglobulinemia biasanya muncul saat anak dengan riwayat sinusitis atau infeksi paru berulang. Penderita HIV/AIDS merupakan implikasi terjadinya bronkiektasis dan digambarkan dengan timbulnya percepatan kerusakan bronkus karena infeksi berulang.
8.      Defek anatomi kongenital
Sekuester bronkopulmoner, sindroma Williams-Campbell (defisiensi congenital kartilago), Sindrom Mounier-Kuhn (tracheobronkomegali), Sindrome Swyer-Jamer (unilateral hyperlucent lung) dan sindrom yellow-nail mempermudah timbulnya bronkiektasis.
9.      Defisiensi alpha 1-antitripsin
Patogenesisnya belum jelas
10.  Penyakit reumatik
Komplikasi rheumatoid arthritis dan sindrom Sjorgen dapat terjadi bronkiektasis, tetapi patogenesisnya belum jelas.
11.  Traksi bronkiektasis
Ini merupakan distorsi jalan napas sekunder karena distorsi parenkim paru dari fibrosis pulmoner.
12.  Merokok
Bagaimana merokok dapat menyebabkan terjadinya bronkiektasis masih belum jelas namun demikian asap rokok dan infeksi berulang dapat mempercepat kerusakan dinding bronkus.

V.                PATOGENESIS
Patogenesis bronkiektasis tergantung faktor penyebabnya. Apabila bronkiektasis timbul kongenital, patogenesisnya tidak diketahui, diduga erat hubungannya dengan faktor genetik serta faktor pertumbuhan dan perkembangan fetus dalam kandungan. Pada bronkiektasis yang didapat, patogenesisnya yang diduga melalaui beberapa mekanisme. Ada beberapa faktor yang diduga ikut berperan, antara lain faktor obstruksi bronkus, faktor injeksi pada bronkus atau paru, faktor adanya beberapa penyakit tertentu seperti fibrosis paru, asthmatic pulmonary eosinophilia dan faktor intrinsik dalam bronkus atau paru. Pada infeksi, infeksi yang mendahului bronkiektasis adalah infeksi bakterial, yaitu mikroorganisme penyebab pneumonia atau bronkitis yang mendahuluinya. Dikatakan bahwa hanya infeksi bakteri saja yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding bronkus sehingga terjadi bronkiektasis, sedangkan infeksi virus tidak dapat. Boleh jadi bahwa pneumonia atau bronkitis yang mendahului bronkiektasis tadi didahului oleh infeksi virus.
Tiap pasien bronkiektasis tidak selalu disertai infeksi sekunder pada lesi (daerah bronkiektasis). Secara praktis apabila sputum pasaien bronkiektasis bersifat mukoid dan putih jerinih, menandakan tidak atau belum ada infeksi sekunder. Sebaliknya apabila sputum pasien yang semula berwarna putih jernih kemudian berubah warnyanya menjadi kuning atau kehijauan atau berbau busuk berarti telah terjadi infeksi sekunder. Untuk menentukan jenis kumannya bisa dilakukan pemeriksaan mikrobiologis. Sputum berbau busuk menandakan adanya infeksi sekunder oleh kuman anaerob (Rahmatullah, 2009).
VI.             PATOFISIOLOGI DAN PATOLOGI

Bronkiektasis adalah dilatasi abnormal bronkus, pada daerah proksimal bronkus (diameter > 2 mm) disertai destruksi komponen otot dan jaringan elastik dinding bronkus yang dapat terjadi secara kongenital ataupun didapat karena sebab infeksi kronik saluran napas. Bronkiektasis kongenital terjadi pada bayi dan anak sebagai akibat kegagalan pembentukan cabang-cabang bronkus. Kerusakan komponen otot dan jaringan elastik dinding bronkus merupakan respon tubuh terhadap infeksi berupa proses inflamasi yang melibatkan sitokin, oksida nitrit dan neutrofil protease sehingga terjadi kerusakan pada jaringan alveolar peribronkial dan selanjutnya terjadi fibrosis peribronkial. Akhirnya terjadi kerusakan dinding bronkus dan inflamasi transmural sehingga terjadi dilatasi abnormal bronkus. Pada keadaan ini biasanya ditemukan gangguan pembersihan sekresi (mucous clearance) pada bronkus dan cabang-cabangnya. Kegagalan proses pembersihan sekresi menyebabkan kolonisasi kuman dan timbul infeksi oleh kuman pathogen yang ikut berperan dalam pembentukan mucus yang purulen pada penderita bronkiektasis (Subagyo, 2013).
Bronkiektasis lebih sering ditemukan di paru kiri daripada kanan, mungkin karena diameter bronkus utama kiri lebih kecil daripada kanan. Kelainan lebih sering ditemukan di lobus bawah khususnya segmen basal. Lynne Reyd membagi bronkiektasis menjadi 3 bentuk berdasarkan pelebaran bronkus dan derajat obstruksi, sebagai berikut:
1.      Bentuk silindrik (tubular)
Seringkali dihubungkan dengan kerusakan parenkim paru, terdapat penambahan diameter bronkus yang bersifat regular, lumen distal bronkus tidak begitu melebar.
2.      Bentuk varikosa (fusiform)
Pelebaran bronkus lebih lebar dari bentuk silindrik dan bersifat irregular. Gambaran garis irregular dan distal bronkus yang mengembang adalah gambaran khas pada bentuk varikosa.
3.      Bentuk sakuler (kistik)
Dilatasi bronkus sangat progresif menuju ke perifer bronkus. Pelebaran bronkus ini terlihat sebagai balon, kelainan ini biasanya terjadi pada bronkus besar, pada bronkus generasi ke 4. Bentuk ini juga terdapat pada bronkiektasis kongenital (Subagyo, 2013).

I.                   DIAGNOSIS
1.      Klinis
Tanda dan gejala yang timbul tergantung dari beratnya penyakit, penyebaran, lokasi, ada tidaknya komplikasi dan penyakit yang mendasarinya. Gejala pada bronkiektasis dapat disebabkan karena bronkiektasis -nya saja atau karena penyakit dasarnya. Gejala akibat bronkiektasis -nya saja dapat berupa batuk kronik, dahak purulen, panas, lemah dan berat badan menurun (Subagyo, 2013).
Dari anamnesis, akan didapatkan adanya batuk kronik disertai produksi sputum, adanya hemoptisis, sesak napas, demam berulang dan pneumonia berulang. Gejala dan tanda klinis tersebut dapat demikian hebat pada penyakit yang berat dan dapat tidak nyata atau tanpa gejala pada penyakit yang ringan (Rahmatullah, 2009).
Pada penderita bronkiektasis sering ditemukan batuk dengan banyak dahak bersifat purulen terutama terjadi setelah istirahat lama terlentang yaitu pada pagi hari. Secara makroskopik dapat dijumpai sputum 3 lapis yaitu lapisan busa, lapisan purulen (hijau, kuning) dan lapisan mukoid. Dapat juga dijumpai bronkiektasis yang kering tidak banyak dahak, hal ini tergantung pada lokasi bronkiektasis, misalnya pada tempat yang alirannya baik. Dengan mengitung volume dahak/24 jam dapat ditentukan berat ringannya penyakkit. Ellis dkk mengelompokkan BE menjadi bronkiektasis ringan (volume dahak <10 ml/hari), bronkiektasis sedang (10-150 ml/hari) dan bronkiektasis berat (>150 ml/hari). Batuk darah jarang terjadi pada BE kering, lebih banyak terjadi pada bronkiektasis dewasa (Subagyo, 2013).
Batuk dan produksi sputum  mukopurulen selama beberapa bulan sampai tahun merupakan gambaran yang spesifik. Gejala yang kurang spesifik adalah dispneu, nyeri dada pleuritik, mengi, batuk darah, demam, lemah dan kehilangan berat badan bronkiektasis “kering” manifestasinya adalah batuk darah secara episodic dengan sedikit atau tanpa sputum dan biasanya merupakan gejala sisa tuberculosis dan ditemukan pada lobus atas paru. Penderita mungkin secara episodik terkena bronkitis atau infeksi paru sehingga terjadi eksaserbasi dalam bentuk BE dan sering memerlukan antibiotik. Infeksi bakterial akut biasanya terjadi karena peningkatan produksi sputum, peningkatan kekentalan sputum dan tidak jarang menghasilkan sputum yang berbau (Subagyo, 2013).
Pemeriksaan fisik kadang tidak dijumpai kelainan. Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik tergantung pada luas, derajat dan ada tidaknya obstruksi saluran napas (Subagyo, 2013). Dari pemeriksaan fisik, mungkin didapatkan pasien batuk dengan sputum, sesak napas, demam, atau batuk darah. Dari pemeriksaan kepala leher, bisa didapatkan pasien mengalami sianosis dispnea.
Pada thorax, apabila bagian paru yang diserang amat luas dan kelainannya berat dapat menimbulkan kelainan berikut: terjadi retraksi dinding dada dan berkurangnya gerakan dada daerah paru yang terkena serta dapat terjadi pergeseran mediastinum ke daerah paru yang terkena.
Kelainan paru yang timbul tergantung beratnya serta tempat kelainan bronkiektasis terjadi dan kelainannya apakah fokal atau difus. Pada pemeriksaan fisis paru, kelainannya harus dicari pada tempat-tempat predisposisi. Pada bronkiektasis biasanya ditemukan ronkhi basah yang jelas pada lobus bawah paru yang terkena dan keadaannya menetap dari waktu ke waktu atau ronkhi basah ini hilang sesudah pasien mengalami drainase postural dan timbul lagi di waktu yang lain. Bila terdapat komplikasi Pneumonia akan ditemukan kelainan fisik sesuai dengan Pneumonia. Wheezing sering ditemukan bila terjadi obstruksi bronkus.
Pada kasus yang berat dan lanjut, dari pemeriksaan jantung akan didapatkan tanda-tanda Cor Pulmonale maupun gagal jantung kanan.
Pada ekstremitas akan didapatkan sianosis, jari tabuh, dan manifestasi klinis komplikasi bronkiektasis (Rahmatullah, 2009).
2.      Laboratorium
Pada umumnya, hasil pemeriksaan laboratorium untuk bronkiektasis tidak has. Dari pemeriksaan darah lengkap, pada keadaan lanjut dan sudah mulai ada insufisiensi paru dapat ditemukan polisitemia sekunder. Bila penyakitnya ringan gambaran darahnya normal. Sering ditemukan anemia yang menunjukkan adanya infeksi kronik atau ditemukan leukosistosis yang menunjukkan adanya infeksi supuratif.
Permeriksaan sputum dengan pengecatan  langsung dapat dilakukan untuk menentukan kuman apa yang terdapat dalam sputum. Pemeriksaan kultur sputum dan uji sensitivitas terhadap antibiotik perlu dilakukan, apabila ada kecurigaan adanya infeksi sekunder. Perlu dicurigai adanya infeksi sekunder apabila terdapat perubahan warna sputum.
3.      Radiologis
Gambaran radiologi khas untuk bronkiektasis biasanya menunjukkan kista-kista kecil dengan fluid level, mirip seperti gambaran sarang tawon (honeycomb appearance) pada daerah yang terkena. Gambaran seperti ini hanya ditemukan pada 13% kasus. Kadang-kadang gambaran radiologis paru pada bronkiektasis menunjukkan adanya bercak-bercak pneumonia, fibrosis atau kolaps (ateletaksis), bahkan kadang-kadang gambaran seperti pada paru normal (pada 7% kasus). Gambaran bronkiektasis akan jelas pada bronkogram  (Rahmatullah, 2009)
Diagnosis bronkiektasis baru ditegakkan bila telah ditemukan adanya dilatasi dan nekrosis dinding bronkus dengan prosedur pemeriksaan bronkografi, melihat bronkogram yang didapatkan dari CT scan. Bronkografi tidak selalu dapat dikerjakan pada tiap pasien bronkiektasis karena terikat oleh adanya indikasi, kontraindikasi, syarat-syarat kapan melakukannya dan sebagainya (Rahmatullah, 2009).
Bronkiektasis dapat mengalami eksaserbasi akut. Kejadian ini terjadi pada pasien yang:
         sering mendapat antibiotika
         Infeksi bakteri akut
         Ditemukan 4 dari 9 gejala eksaserbasi
         Gejala meningkat : nyeri ketika napas
I.                   TATALAKSANA
Dasar terapi termasuk identifikasi eksaserbasi akut dan pemberian antibiotik, penekanan beban mikroba, terapi pada penyakit dasar, menurunkan respons inflamasi, mengupayakan higiene bronkial, mengontrol perdarahan bronkial, dan upaya bedah untuk membuang segmen yang mengalami kerusakan berat (Baker, 2002).
1.      Eksaserbasi akut atau Bronkitis
Identifikasi eksaserbasi pada kasus bronkiektasis lebih rumit dibandingkan dengan kasus PPOK. Pada PPOK, perburukan keadaan sesak dan peningkatan volume dan purulensi sputum sering digunakan sebagai kriteria identifikasi eksaserbasi. Pada pasien dengan bronkiektasis kronis, sputum telah purulen. Studi yang dilakukan oleh O’Donnel et all (2008), pasien yang memiliki 4 dari gejala berikut didefinisikan mengalami eksaserbasi akut:
         Peningkatan jumlah sputum
         Peningkatan sesak
         Peningkatan batuk
         Suhu > 38.00C
         Peningkatan mengi
         -Malaise, lemah, lesu, atau penurunan exercise tolerance
         Penurunan fungsi paru
         Perubahan rontgen toraks dgn infiltrat baru
         Perubahan suara napas
Terapi antibiotik dini untuk kasus yang diduga merupakan suatu eksaserbasi mungkin akan membatasi lingkaran setang yang terjadi. Antibiotik yang menjadi pilihan utama adalah fluorokuinolon seperti levofloxacin atau ciprofloxacin. Durasi terapi minimal 7 – 10 hari. Kultur sputum dan uji sensitivitas diindikasikan untuk pasien yang tidak berespon pada antibiotik inisial atau diketahui berasal dari mikroorganisme yang telah resisten (Baker, 2002).
Pilihan antibiotik harus berdaraskan kultur sputum terbaru. Jika hasilnya negatif atau tidak dapat dilakukan, terapi menggunakan amoxicillin clavulanat atau doxycycline direkomendasikan. Lama terapi harus diperpanjang menjadi minimal 10 hari. Follow up dini (dalam 4 hari) diperlukan untuk memantau respon pengobatan. Sebagian besar pasien akan  membaik dalam waktu 7 hari, meskipun dapat mencapai waktu 4 minggu untuk kembali pada keadaan basal (Maguire, 2012).
2.      Kebersihan Bronkopulmoner
Meningkatkan eliminasi sekret pada pasien dengan bronkiektasis adalah tindakan yang menguntungkan. Pengontrolan baruk, drainase postural, fisioterapi dada, dan melonggrkan serta menipiskan sekresi, pemberian bronkodilator dan kortikosteroid inhalasi menjadi bagian dari terapi perawatan dan terapi untuk eksaserbasi akut.
3.      Bedah
Peran pembedahan untuk bronkiektasis telah menurun tapi tidak menghilang.Tujuan pembedahan termasuk menghilangkna tumor yang menyumbat atau sisa benda asing; eliminasi segmen atau lobus yang paling rusak dan diduga berkontribusi untuk terjadinya eksaserbasi akut, meningkatkan sekresi mukus dan plugl eliminasi area yang berperan dalam perdarahan yang tidak terkontrol, dan penghilangan paru yang rusak yang diduga merupakan tempat persembunyian organisme seperti MDR TB atau M. avium complex.
4.      Hemoptisis
Hemoptisis yang mengancam jiwa (lebih dari 600 cc/hari) dapat terjadi pada pasien dengan bronkiektasis dan membutuhkan tatalaksana yang agresif dan terkoordinasi. Setelah jalan napas dilindungi dengan pasien miring  pada sisi dimana perdarahan diduga terjadi atau dengan intubasi endotrakeal, bronkoskopi, atau CT scan dada dapat membantu menentukan lobus mana yang mengalami perdarahan. Pembedahan masih mungkin dibutuhkan untuk mereseksi area yang diduga mengalami perdarahan  (Baker, 2002).

Secara umum, semua pasien yang diduga menderita bronkiektasis harus dirujuk ke spesialis. Indikasi MRS untuk pasien dengan bronkiektasis eksaserbasi akut (Maguire, 2012)
-          Demam >38oC
-          Hipotensi (Tekanan Darah sistolik <90mmHg atau Tekanan darah diastolik <60mmHg)
-          Pernapasan > 30 kali/menit
-          Kebutuhan akan ventilasi noninvasif (NIV)/ICU sebelumnya
-          Gagal membaik setelah 7 hari terapi oral
-          Hipoksia (onset baru, saturasi oksigen <93% pada udara ruangan)
-          Kebingungan
-          Penyakit berat (prediksi FEV1 <40%)
-          Keterbatasan dukungan sosial atau kesulitan untuk melakukan follow up
-          Ketidakmampuan merawat diri sendiri

II.                KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi dibagi menjadi kelainan di paru dandi luar paru.
1.      Kelainan pada paru :
        pneumonia
        empiema
2.      Kelainan di luar paru :
        abses otak
        sinusitis

III.             PROGNOSIS
Tidak mengejutkan apabila prognosis sangat bervariasi pada kelompok yang berbeda. Meskipun demikian, sekitar 10% orang dewasa dengan bronkiektasis non Cystic Fibrosis akan meninggal dalam 5 – 8 tahun setelah didiagnosis pada lebih dari separuh kasus. Faktor yang berhubungan dengan prognosis buruk adalah merokok, organisme gram negatif (terutama E.coli dan P. Aeruginosa) dan aspergillus pada kultur sputum, dan nilai FEV1 dan FVC yang lebih buruk (Maguire, 2012)
Bronkiektasis secara independen berhubungan dengan peningkatan kematian pada pasien dengan PPOK sedang-berat berdasarkan penelitian yang dilakukan di Spanyol  (Dunford, 2013).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Keistinen et all, penyakit penyebab merupakan penyebab kematian utama pada pasien dengan bronkiektasis dan PPOK. Penyakit jantung merupakan penyebab kematian utama pada pasien bronkiektasis dengan asma (Barker, 2002).

  
DAFTAR PUSTAKA

Barker, Alan F. 2002. Bronchiectasis. Medical Progress. N Engl J Med, Vol. 346, No. 18 hal 1383 – 1393 [Online] Diakses 10 Mei 2013. Dari: http:// www.nejm.org
Dunford, Nathaniel. 2013. Bronchiectasis increases mortality risk in moderate-tosevere COPD. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. [Online] Diakses 10 Mei 2013. Dari: http://www.thoracic.org
Maguire, Graeme . 2012. Bronchiectasis – a guide for primary care. Reprinted from Australian Family Physician Vol. 41, No. 11, november 2012. Hal 842-850. [Online] Diakses 10 Mei 2013. Dari: http://racgp.org.au
O’Donnel, Anne. 2008. Bronchiectasis. Chest Journal. Chest. 2008; 134(4):815-823. do i:10.1378/chest.08-0776. October 2008, Vo l 134, No . 4 [Online] Diakses 10 Mei 2013. Dari http://journal.publications.chestnet.org/
Rahmatullah, Pasiyan. 2009. Bronkiektasis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing
Subagyo, Ahmad. 2013. Bronkiektasis (BE). Klik Paru [Online]. Diakses 13 Mei 2013. Dari www.klikparu.com

No comments: