I.
PENDAHULUAN
Bronkiektasis
diperkenalkan pertama kali oleh Laennec pada tahun 1989. Bronkiektasis dulu
dikenal sebagai penyakit yang menyerang orang yang sudah berusia tua, namun
saat ini telah dikenal secara luas dengan frekuensi yang meningkat di seluruh
dunia dan dapat diderita oleh pasien dengan spektrum usia yang luas baik
laki-laki dan perempuan, tetapi prevalensi tertinggi adalah pada wanita berusia
tua. Pasien dengan bronkiektasis menderita batuk kronis berdahak yang produktif
dan pertumbuhan bakteri yang nyata yang mengakibatkan penurunan fungsi paru,
meningkatnya angka kesakitan dan dapat menyebabkan kematian dini (O’Donnel,
2008).
Di negara barat, prevalensi
bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3% di antara populasi. Kekerapan itu
mengalami penurunan setelah antibiotik banyak dipakai untuk mengobati penyakit
infeksi paru. Di Indonesia belum ada laporan tentang angka yang pasti mengenai
penyakit ini (Rahmatullah, 2009).
Dampak khusus bagi
sistem kesehatan mengalami peningkatan. Di Amerika Serikat, angka rawat inap
untuk kasus bronkiektasis meningkat antara tahun 1993 – 2006. Dan saat ini
mencapai angka 16,5/100.000 penduduk per tahun (Maguire, 2012). Peningkatan ini
prevalensi ini seiring dengan semakin meluasnya penggunaan high resolution chest CT (HRCT) (O’Donnel, 2008).
Terapi untuk bronkiektasis
adalah multimodal, dan termasuk terapi dengan antibiotik, antiinflamasi, dan
pembersihan jalan napas. Prognosis pasien dengan bronkiektasis bervariasi.
Pendekatan yang berfokus pada pasien dibutuhkan untuk dapat mengevaluasi dan
merawat setiap individu yang menderita bronkiektasis (O’Donnel, 2008).
II.
DEFINISI
Bronkiektasis
merupakan dilatasi abnormal dari bronkus dan bronkiolus oleh karena siklus
infeksi dan inflamasi yang berulang (O’Donnel, 2008). Bronkiektasis ditandai
dengan adanya dilatasi (ektasis) dan distorsi bronkus lokal yang bersifat
patologis dan berjalan kronik, persisten, atau ireversibel. Kelainan bronkus
tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa
destruksi elemen-elemen elastis, otot polos bronkus, tulang rawan, dan
pembuluh-pembuluh darah. Bronkus yang terkena umumnya adalah bronkus kecil,
sedangkan bronkus besar umumnya jarang (Rahmatullah, 2009).
III.
EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan review
klaim asuransi, diperkirakan bahwa 110.00 orang penduduk di Amerika Serikat
saat ini dirawat dengan bronkiektasis non-kistik fibrosis. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Weyker et al,
prevalensi di Amerika Serikat 4,2 per 100.000 orang berusia 18 – 34 tahun dan
272 per 100.000 orang di antara penduduk
berusia >75 tahun. Peningkatan ini prevalensi ini berkesinambungan
dengan semakin meluasnya penggunaan high
resolution chest CT (HRCT). Ditambah lagi, ada peningkatan jumlah pasien
dengan infeksi paru Nontuberculosis
mycobacterium (NTM) yang didiagnosis juga menderita bronkiektasis. Di luar
Amerika Utara, bronkiektasis merupkan masalah klinis yang umum dijumpai, tapi
prevalensi di dunia belum diketahui. Secara mendunia, kelompok demografis
tertentu diketahui memiliki risiko yang meningkat untuk perkembangan
bronkiektasis, termasuk individu yang memiliki akses buruk ke pelayanan
kesehatan atau adanya infeksi paru yang tinggi pada anak (O’Donnel, 2008).
IV.
ETIOLOGI
Penyebab
bronkiektasis sampai sekarang belum jelas (Rahmatullah, 2009). Bahkan dengan
uji dan pemeriksaan terkini secara klinis, laboratorium, dan patologi, hingga
50-80% kasus bronkiektasis penyebabnya tidak diketahui. Terdapat faktor
multipel yang dipengaruhi oleh genetik, anatomis, dan sistemik yang menyebabkan
bronkiektasis (O’Donnel, 2008). Pada kenyataannya kasus-kasus bronkiektasis
dapat timbul secara kongenital maupun didapat.
1.
Kelainan
kongenital
Bronkiektasis
timbul sejak masih dalam kandungan. Faktor yang berperan adalah genetik dan
perkembangan fetus.
2.
Kelainan
didapat
Pada kelainan yang
didapat, bronkiektasis bisa timbul karena infeksi dan obstruksi bronkus (Rahmatullah,
2009).
Etiologi dan Faktor
yang Berhubungan dengan bronkiektasis adalah sebagai berikut:
-
Penyebab
kongenital (misalnya Sindroma Mounier-Kuhn, Sindroma Young)
-
PPOK
dan merokok
-
Fibrosis
Kistik
-
Disfungsi
mukosilier (misalnya diskinesia silier primer)
-
Post
obstruksi (misalnya karena corpus alienum)
-
Post
infeksi (misalnya TB, Adenovirus, Pneumonia rekuren)
-
Aspergilosi
bronkopulmoner karena alergi
-
Penyakit
Inflamasi Sistemik (misalnya Artritis Rematoid, Sarcoidosis) (Maguire, 2012).
Subagyo (2013) menyebutkan bahwa banyak penyebab yang menjadi
etiologi maupun faktor predisposisi terjadinya bronkiektasis, antara lain:
1.
Infeksi
primer (bakteri, jamur dan virus)
Bronkiektasis mungkin
sebagai sequel dari nekrosis setelah infeksi akibat pengobatan yang buruk atau
tidak diobati sama sekali. Infeksi dapat disebabkan oleh kuman tipikal seperti Klebsiela, Staphilococcus aureus,
Mycobacterium tuberculosis, Mycoplasma pneumonia, measles, pertusis,
influenza, herpes simplex dan beberapa tipe adenovirus. Pada anak respiratory syncytial virus dapat
menyebabkan bronkiektasis. Bronkiektasis juga bisa juga disebabkan oleh Mycobacterium avium complex (MAC) yang
terjadi pada penderita HIV dan imunokompromis.
2.
Obstruksi
bronkus
Tumor endobronkial,
benda asing atau stenosis bronkus karena penekanan akibat kelenjar getah bening
leher yang membesar dapat menyebabkan bronkiektasis. Sindrom lobus tengah kanan
merupakan bentuk spesifik obstruksi bronkus yang akhirnya akan menyebabkan bronkiektasis
karena angulasi abnormal lobus tersebut. Timbulnya obstruksi bronkus dan
infeksi kronik merupakan faktor predisposisi terbentuknya bronkiektasis.
3.
Fibrosis
kistik
Ini merupakan
penyakit autosomal resesif dengan kelainan utama pada paru dengan gambaran umum
bronkiektasis. Bronkiektasis berhubungan dengan fibrosis kistik terjadi secara sekunder
karena terkumpulnya mukus pada jalan napas bagian atas dan terjadinya infeksi
kronis.
4.
Sindroma
Young
Gambaran klinis
sama denga fibrosis kistik. Sindrom ini ditemukan bronkiektasis disertai
sinusitis dan azoospermia, sering terjadi pada pria usia pertengahan.
5.
Diskinesia
siliar primer
Manifestasinya
adalah immotile dan/atau diskinetik silia dan spermatozoa. Keadaan ini
menyebabkan gangguan bersihan mukosilier infeksi berulang dan akhirnya terjadi bronkiektasis.
Sindrom Kartagener dengan trias gambaran klinik berupa situs inversus,
sinusitis dan bronkiektasis adalah sebagai akibat imobilitas silia pada saluran
napas.
6.
Aspergilosis
bronkopulmoner alergi
Merupakan reaksi
hipersensitiviti terhadap inhalan antigen Aspergilus dengan gambaran
bronkospasme, bronkiektasis dan reaksi imunologi oleh spesies Aspergilus.
Dikatakan aspergilus bronkopulmoner alergi adalah apabila pada penderita
tersebut ditemukan batuk produktif dan juga memiliki riwayat asma yang tidak
respons dengan terapi konvensional.
7.
Keadaan
imunodefisiensi
Imunodefisiensi
dapat terjadii secara congenital maupun didapat. Imunodefisiensi ini melibatkan
gangguan gangguan fungsi limfosit B. penderita dengan hipogammaglobulinemia
biasanya muncul saat anak dengan riwayat sinusitis atau infeksi paru berulang.
Penderita HIV/AIDS merupakan implikasi terjadinya bronkiektasis dan digambarkan
dengan timbulnya percepatan kerusakan bronkus karena infeksi berulang.
8.
Defek
anatomi kongenital
Sekuester
bronkopulmoner, sindroma Williams-Campbell (defisiensi congenital kartilago),
Sindrom Mounier-Kuhn (tracheobronkomegali), Sindrome Swyer-Jamer (unilateral hyperlucent lung) dan sindrom
yellow-nail mempermudah timbulnya bronkiektasis.
9.
Defisiensi
alpha 1-antitripsin
Patogenesisnya
belum jelas
10. Penyakit reumatik
Komplikasi
rheumatoid arthritis dan sindrom Sjorgen dapat terjadi bronkiektasis, tetapi
patogenesisnya belum jelas.
11. Traksi bronkiektasis
Ini merupakan
distorsi jalan napas sekunder karena distorsi parenkim paru dari fibrosis
pulmoner.
12. Merokok
Bagaimana merokok
dapat menyebabkan terjadinya bronkiektasis masih belum jelas namun demikian
asap rokok dan infeksi berulang dapat mempercepat kerusakan dinding bronkus.
V.
PATOGENESIS
Patogenesis bronkiektasis
tergantung faktor penyebabnya. Apabila bronkiektasis timbul kongenital,
patogenesisnya tidak diketahui, diduga erat hubungannya dengan faktor genetik
serta faktor pertumbuhan dan perkembangan fetus dalam kandungan. Pada bronkiektasis
yang didapat, patogenesisnya yang diduga melalaui beberapa mekanisme. Ada
beberapa faktor yang diduga ikut berperan, antara lain faktor obstruksi
bronkus, faktor injeksi pada bronkus atau paru, faktor adanya beberapa penyakit
tertentu seperti fibrosis paru, asthmatic pulmonary eosinophilia dan faktor
intrinsik dalam bronkus atau paru. Pada infeksi, infeksi yang mendahului
bronkiektasis adalah infeksi bakterial, yaitu mikroorganisme penyebab pneumonia
atau bronkitis yang mendahuluinya. Dikatakan bahwa hanya infeksi bakteri saja
yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding bronkus sehingga terjadi
bronkiektasis, sedangkan infeksi virus tidak dapat. Boleh jadi bahwa pneumonia
atau bronkitis yang mendahului bronkiektasis tadi didahului oleh infeksi virus.
Tiap pasien
bronkiektasis tidak selalu disertai infeksi sekunder pada lesi (daerah
bronkiektasis). Secara praktis apabila sputum pasaien bronkiektasis bersifat
mukoid dan putih jerinih, menandakan tidak atau belum ada infeksi sekunder.
Sebaliknya apabila sputum pasien yang semula berwarna putih jernih kemudian
berubah warnyanya menjadi kuning atau kehijauan atau berbau busuk berarti telah
terjadi infeksi sekunder. Untuk menentukan jenis kumannya bisa dilakukan
pemeriksaan mikrobiologis. Sputum berbau busuk menandakan adanya infeksi
sekunder oleh kuman anaerob (Rahmatullah, 2009).
VI.
PATOFISIOLOGI DAN PATOLOGI
Bronkiektasis adalah
dilatasi abnormal bronkus, pada daerah proksimal bronkus (diameter > 2 mm)
disertai destruksi komponen otot dan jaringan elastik dinding bronkus yang
dapat terjadi secara kongenital ataupun didapat karena sebab infeksi kronik
saluran napas. Bronkiektasis kongenital terjadi pada bayi dan anak sebagai
akibat kegagalan pembentukan cabang-cabang bronkus. Kerusakan komponen otot dan
jaringan elastik dinding bronkus merupakan respon tubuh terhadap infeksi berupa
proses inflamasi yang melibatkan sitokin, oksida nitrit dan neutrofil protease
sehingga terjadi kerusakan pada jaringan alveolar peribronkial dan selanjutnya
terjadi fibrosis peribronkial. Akhirnya terjadi kerusakan dinding bronkus dan
inflamasi transmural sehingga terjadi dilatasi abnormal bronkus. Pada keadaan
ini biasanya ditemukan gangguan pembersihan sekresi (mucous clearance) pada bronkus dan cabang-cabangnya. Kegagalan
proses pembersihan sekresi menyebabkan kolonisasi kuman dan timbul infeksi oleh
kuman pathogen yang ikut berperan dalam pembentukan mucus yang purulen pada
penderita bronkiektasis (Subagyo, 2013).
Bronkiektasis lebih
sering ditemukan di paru kiri daripada kanan, mungkin karena diameter bronkus
utama kiri lebih kecil daripada kanan. Kelainan lebih sering ditemukan di lobus
bawah khususnya segmen basal. Lynne Reyd membagi bronkiektasis menjadi 3 bentuk
berdasarkan pelebaran bronkus dan derajat obstruksi, sebagai berikut:
1.
Bentuk
silindrik (tubular)
Seringkali
dihubungkan dengan kerusakan parenkim paru, terdapat penambahan diameter
bronkus yang bersifat regular, lumen distal bronkus tidak begitu melebar.
2.
Bentuk
varikosa (fusiform)
Pelebaran bronkus
lebih lebar dari bentuk silindrik dan bersifat irregular. Gambaran garis
irregular dan distal bronkus yang mengembang adalah gambaran khas pada bentuk
varikosa.
3.
Bentuk
sakuler (kistik)
Dilatasi bronkus
sangat progresif menuju ke perifer bronkus. Pelebaran bronkus ini terlihat
sebagai balon, kelainan ini biasanya terjadi pada bronkus besar, pada bronkus
generasi ke 4. Bentuk ini juga terdapat pada bronkiektasis kongenital (Subagyo,
2013).
I.
DIAGNOSIS
1. Klinis
Tanda dan gejala yang timbul tergantung dari beratnya
penyakit, penyebaran, lokasi, ada tidaknya komplikasi dan penyakit yang
mendasarinya. Gejala pada bronkiektasis dapat disebabkan karena bronkiektasis -nya
saja atau karena penyakit dasarnya. Gejala akibat bronkiektasis -nya saja dapat
berupa batuk kronik, dahak purulen, panas, lemah dan berat badan menurun (Subagyo,
2013).
Dari anamnesis, akan didapatkan adanya batuk kronik disertai
produksi sputum, adanya hemoptisis, sesak napas, demam berulang dan pneumonia
berulang. Gejala dan tanda klinis tersebut dapat demikian hebat pada penyakit
yang berat dan dapat tidak nyata atau tanpa gejala pada penyakit yang ringan (Rahmatullah,
2009).
Pada penderita bronkiektasis sering ditemukan batuk dengan
banyak dahak bersifat purulen terutama terjadi setelah istirahat lama
terlentang yaitu pada pagi hari. Secara makroskopik dapat dijumpai sputum 3
lapis yaitu lapisan busa, lapisan purulen (hijau, kuning) dan lapisan mukoid.
Dapat juga dijumpai bronkiektasis yang kering tidak banyak dahak, hal ini
tergantung pada lokasi bronkiektasis, misalnya pada tempat yang alirannya baik.
Dengan mengitung volume dahak/24 jam dapat ditentukan berat ringannya
penyakkit. Ellis dkk mengelompokkan BE menjadi bronkiektasis ringan (volume
dahak <10 ml/hari), bronkiektasis sedang (10-150 ml/hari) dan bronkiektasis berat
(>150 ml/hari). Batuk darah jarang terjadi pada BE kering, lebih banyak
terjadi pada bronkiektasis dewasa (Subagyo, 2013).
Batuk dan produksi sputum
mukopurulen selama beberapa bulan sampai tahun merupakan gambaran yang
spesifik. Gejala yang kurang spesifik adalah dispneu, nyeri dada pleuritik,
mengi, batuk darah, demam, lemah dan kehilangan berat badan bronkiektasis “kering”
manifestasinya adalah batuk darah secara episodic dengan sedikit atau tanpa
sputum dan biasanya merupakan gejala sisa tuberculosis dan ditemukan pada lobus
atas paru. Penderita mungkin secara episodik terkena bronkitis atau infeksi
paru sehingga terjadi eksaserbasi dalam bentuk BE dan sering memerlukan
antibiotik. Infeksi bakterial akut biasanya terjadi karena peningkatan produksi
sputum, peningkatan kekentalan sputum dan tidak jarang menghasilkan sputum yang
berbau (Subagyo, 2013).
Pemeriksaan fisik kadang tidak dijumpai kelainan. Kelainan
yang ditemukan pada pemeriksaan fisik tergantung pada luas, derajat dan ada
tidaknya obstruksi saluran napas (Subagyo, 2013). Dari pemeriksaan fisik, mungkin
didapatkan pasien batuk dengan sputum, sesak napas, demam, atau batuk darah.
Dari pemeriksaan kepala leher, bisa didapatkan pasien mengalami sianosis
dispnea.
Pada thorax, apabila bagian paru yang diserang amat luas dan
kelainannya berat dapat menimbulkan kelainan berikut: terjadi retraksi dinding
dada dan berkurangnya gerakan dada daerah paru yang terkena serta dapat terjadi
pergeseran mediastinum ke daerah paru yang terkena.
Kelainan paru yang timbul tergantung beratnya serta tempat
kelainan bronkiektasis terjadi dan kelainannya apakah fokal atau difus. Pada
pemeriksaan fisis paru, kelainannya harus dicari pada tempat-tempat
predisposisi. Pada bronkiektasis biasanya ditemukan ronkhi basah yang jelas
pada lobus bawah paru yang terkena dan keadaannya menetap dari waktu ke waktu
atau ronkhi basah ini hilang sesudah pasien mengalami drainase postural dan
timbul lagi di waktu yang lain. Bila terdapat komplikasi Pneumonia akan
ditemukan kelainan fisik sesuai dengan Pneumonia. Wheezing sering ditemukan
bila terjadi obstruksi bronkus.
Pada kasus yang berat dan lanjut, dari pemeriksaan jantung
akan didapatkan tanda-tanda Cor Pulmonale maupun gagal jantung kanan.
Pada ekstremitas akan didapatkan sianosis, jari tabuh, dan
manifestasi klinis komplikasi bronkiektasis (Rahmatullah, 2009).
2. Laboratorium
Pada umumnya, hasil pemeriksaan laboratorium untuk bronkiektasis
tidak has. Dari pemeriksaan darah lengkap, pada keadaan lanjut dan sudah mulai
ada insufisiensi paru dapat ditemukan polisitemia sekunder. Bila penyakitnya
ringan gambaran darahnya normal. Sering ditemukan anemia yang menunjukkan
adanya infeksi kronik atau ditemukan leukosistosis yang menunjukkan adanya
infeksi supuratif.
Permeriksaan sputum dengan pengecatan langsung dapat dilakukan untuk menentukan
kuman apa yang terdapat dalam sputum. Pemeriksaan kultur sputum dan uji
sensitivitas terhadap antibiotik perlu dilakukan, apabila ada kecurigaan adanya
infeksi sekunder. Perlu dicurigai adanya infeksi sekunder apabila terdapat
perubahan warna sputum.
3. Radiologis
Gambaran radiologi khas untuk bronkiektasis biasanya
menunjukkan kista-kista kecil dengan fluid level, mirip seperti gambaran sarang
tawon (honeycomb appearance) pada daerah yang terkena. Gambaran seperti ini
hanya ditemukan pada 13% kasus. Kadang-kadang gambaran radiologis paru pada
bronkiektasis menunjukkan adanya bercak-bercak pneumonia, fibrosis atau kolaps
(ateletaksis), bahkan kadang-kadang gambaran seperti pada paru normal (pada 7%
kasus). Gambaran bronkiektasis akan jelas pada bronkogram (Rahmatullah, 2009)
Diagnosis bronkiektasis baru ditegakkan bila telah ditemukan
adanya dilatasi dan nekrosis dinding bronkus dengan prosedur pemeriksaan
bronkografi, melihat bronkogram yang didapatkan dari CT scan. Bronkografi tidak
selalu dapat dikerjakan pada tiap pasien bronkiektasis karena terikat oleh
adanya indikasi, kontraindikasi, syarat-syarat kapan melakukannya dan
sebagainya (Rahmatullah, 2009).
Bronkiektasis dapat mengalami eksaserbasi akut. Kejadian ini
terjadi pada pasien yang:
•
sering
mendapat antibiotika
•
Infeksi
bakteri akut
•
Ditemukan
4 dari 9 gejala eksaserbasi
•
Gejala
meningkat : nyeri ketika napas
I.
TATALAKSANA
Dasar terapi termasuk identifikasi eksaserbasi akut dan
pemberian antibiotik, penekanan beban mikroba, terapi pada penyakit dasar,
menurunkan respons inflamasi, mengupayakan higiene bronkial, mengontrol
perdarahan bronkial, dan upaya bedah untuk membuang segmen yang mengalami
kerusakan berat (Baker, 2002).
1. Eksaserbasi
akut atau Bronkitis
Identifikasi eksaserbasi pada kasus bronkiektasis lebih
rumit dibandingkan dengan kasus PPOK. Pada PPOK, perburukan keadaan sesak dan peningkatan
volume dan purulensi sputum sering digunakan sebagai kriteria identifikasi
eksaserbasi. Pada pasien dengan bronkiektasis kronis, sputum telah purulen.
Studi yang dilakukan oleh O’Donnel et all (2008), pasien yang memiliki 4 dari gejala
berikut didefinisikan mengalami eksaserbasi akut:
•
Peningkatan
jumlah sputum
•
Peningkatan
sesak
•
Peningkatan
batuk
•
Suhu
> 38.00C
•
Peningkatan
mengi
•
-Malaise,
lemah, lesu, atau penurunan exercise tolerance
•
Penurunan
fungsi paru
•
Perubahan
rontgen toraks dgn infiltrat baru
•
Perubahan
suara napas
Terapi antibiotik dini untuk kasus yang diduga merupakan
suatu eksaserbasi mungkin akan membatasi lingkaran setang yang terjadi.
Antibiotik yang menjadi pilihan utama adalah fluorokuinolon seperti
levofloxacin atau ciprofloxacin. Durasi terapi minimal 7 – 10 hari. Kultur
sputum dan uji sensitivitas diindikasikan untuk pasien yang tidak berespon pada
antibiotik inisial atau diketahui berasal dari mikroorganisme yang telah
resisten (Baker, 2002).
Pilihan antibiotik harus berdaraskan kultur sputum terbaru.
Jika hasilnya negatif atau tidak dapat dilakukan, terapi menggunakan
amoxicillin clavulanat atau doxycycline direkomendasikan. Lama terapi harus
diperpanjang menjadi minimal 10 hari. Follow up dini (dalam 4 hari) diperlukan
untuk memantau respon pengobatan. Sebagian besar pasien akan membaik dalam waktu 7 hari, meskipun dapat
mencapai waktu 4 minggu untuk kembali pada keadaan basal (Maguire, 2012).
2. Kebersihan
Bronkopulmoner
Meningkatkan eliminasi sekret pada pasien dengan bronkiektasis
adalah tindakan yang menguntungkan. Pengontrolan baruk, drainase postural,
fisioterapi dada, dan melonggrkan serta menipiskan sekresi, pemberian
bronkodilator dan kortikosteroid inhalasi menjadi bagian dari terapi perawatan
dan terapi untuk eksaserbasi akut.
3. Bedah
Peran pembedahan untuk bronkiektasis telah menurun tapi
tidak menghilang.Tujuan pembedahan termasuk menghilangkna tumor yang menyumbat
atau sisa benda asing; eliminasi segmen atau lobus yang paling rusak dan diduga
berkontribusi untuk terjadinya eksaserbasi akut, meningkatkan sekresi mukus dan
plugl eliminasi area yang berperan dalam perdarahan yang tidak terkontrol, dan
penghilangan paru yang rusak yang diduga merupakan tempat persembunyian
organisme seperti MDR TB atau M. avium
complex.
4. Hemoptisis
Hemoptisis yang mengancam jiwa (lebih dari 600 cc/hari)
dapat terjadi pada pasien dengan bronkiektasis dan membutuhkan tatalaksana yang
agresif dan terkoordinasi. Setelah jalan napas dilindungi dengan pasien
miring pada sisi dimana perdarahan
diduga terjadi atau dengan intubasi endotrakeal, bronkoskopi, atau CT scan dada
dapat membantu menentukan lobus mana yang mengalami perdarahan. Pembedahan
masih mungkin dibutuhkan untuk mereseksi area yang diduga mengalami
perdarahan (Baker, 2002).
Secara umum, semua pasien yang diduga menderita
bronkiektasis harus dirujuk ke spesialis. Indikasi MRS untuk pasien dengan
bronkiektasis eksaserbasi akut (Maguire, 2012)
-
Demam
>38oC
-
Hipotensi
(Tekanan Darah sistolik <90mmHg atau Tekanan darah diastolik <60mmHg)
-
Pernapasan
> 30 kali/menit
-
Kebutuhan
akan ventilasi noninvasif (NIV)/ICU sebelumnya
-
Gagal
membaik setelah 7 hari terapi oral
-
Hipoksia
(onset baru, saturasi oksigen <93% pada udara ruangan)
-
Kebingungan
-
Penyakit
berat (prediksi FEV1 <40%)
-
Keterbatasan
dukungan sosial atau kesulitan untuk melakukan follow up
-
Ketidakmampuan
merawat diri sendiri
II.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang
dapat terjadi dibagi menjadi kelainan di paru dandi luar paru.
1.
Kelainan
pada paru :
–
pneumonia
–
empiema
2.
Kelainan
di luar paru :
–
abses
otak
–
sinusitis
III.
PROGNOSIS
Tidak mengejutkan
apabila prognosis sangat bervariasi pada kelompok yang berbeda. Meskipun
demikian, sekitar 10% orang dewasa dengan bronkiektasis non Cystic Fibrosis
akan meninggal dalam 5 – 8 tahun setelah didiagnosis pada lebih dari separuh kasus.
Faktor yang berhubungan dengan prognosis buruk adalah merokok, organisme gram
negatif (terutama E.coli dan P. Aeruginosa) dan aspergillus pada kultur sputum,
dan nilai FEV1 dan FVC yang lebih buruk (Maguire, 2012)
Bronkiektasis
secara independen berhubungan dengan peningkatan kematian pada pasien dengan
PPOK sedang-berat berdasarkan penelitian yang dilakukan di Spanyol (Dunford, 2013).
Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Keistinen et all, penyakit penyebab merupakan penyebab
kematian utama pada pasien dengan bronkiektasis dan PPOK. Penyakit jantung
merupakan penyebab kematian utama pada pasien bronkiektasis dengan asma
(Barker, 2002).
DAFTAR PUSTAKA
Barker,
Alan F. 2002. Bronchiectasis. Medical Progress. N Engl J Med, Vol. 346, No. 18 hal 1383 – 1393 [Online]
Diakses 10 Mei 2013. Dari: http:// www.nejm.org
Dunford,
Nathaniel. 2013. Bronchiectasis increases mortality risk in
moderate-tosevere COPD. American Journal of Respiratory and Critical Care
Medicine. [Online] Diakses 10 Mei 2013. Dari: http://www.thoracic.org
Maguire, Graeme . 2012. Bronchiectasis – a guide for primary care. Reprinted
from Australian Family Physician Vol. 41, No. 11, november 2012. Hal 842-850. [Online]
Diakses 10 Mei 2013. Dari: http://racgp.org.au
O’Donnel, Anne. 2008.
Bronchiectasis. Chest Journal. Chest. 2008; 134(4):815-823. do
i:10.1378/chest.08-0776. October 2008, Vo l 134, No . 4 [Online] Diakses 10 Mei
2013. Dari http://journal.publications.chestnet.org/
Rahmatullah, Pasiyan. 2009. Bronkiektasis. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing
Subagyo, Ahmad. 2013. Bronkiektasis (BE). Klik Paru
[Online]. Diakses 13 Mei 2013. Dari www.klikparu.com
No comments:
Post a Comment