Saturday, September 28, 2013

WHAT DOES IT MEAN TO BE A PERSON?

WHAT DOES IT MEAN TO BE A PERSON?
Sebuah perenungan tentang martabat manusia dalam proses kehamilan

Apakah arti menjadi manusia? Mengapa manusia itu berharga? Apa itu martabat manusia? Adalah pertanyaan yang patut kita renungkan saat dihadapkan pada kasus-kasus bioetik mengenai manusia. Manusia adalah makhluk yang diciptakan memiliki cipta, rasa, dan karsa sehingga keberadaannya terus menjadi isu yang tidak mencapai titik temu dari berbagai macam pihak.

Martabat secara sederhana dapat diartikan sebagai “kualitas atas keberadaan yang layak untuk mendapat penghargaan dan penghormatan”. Dengan demikian, martabat manusia berarti kualitas atas keberadaan yang layak untuk mendapat penghargaan dan penghormatan sebagai manusia. Yang menjadi pertanyaan adalah, siapa atau apa sajakah yang menyandang martabat ini? Apakah embrio, fetus, dan neonatus yang menjadi cikal bakal manusia dewasa sudah memiliki martabat sebagai manusia sehingga harus dimanusiakan? Sejak kapankah kita harus memanusiakan mereka?


Ada dua pendapat mengenai kapan kehidupan (keadaan menjadi manusia) itu dimulai. Pendapat yang pertama adalah bahwa fetus hanyalah suatu “physical basis” yang berarti tidak ada kehidupan di dalamnya. Fetus yang tidak bisa merasakan, tidak bisa membuat pilihan tidak dapat dikatakan sebagai suatu individu/orang (Holbrook, 1985). Dengan pendapat ini, berarti fetus yang belum lahir belum memiliki hak apa pun dan seorang wanita yang mengandung akan memiliki kebebasan: melahirkan bayi ini jika menginginkan ataupun mengakhiri kehamilian tersebut (melakukan aborsi) jika tidak menginginkan bayi di dalam kandungannya.

Pendapat yang kedua adalah pendapat bahwa fetus atau embrio sudah memiliki hak hidup pada setiap tahap perkembangannya. Yang berarti tidak ada perbedaan ketika melakukan “eliminasi” terhadap embrio, fetus, ataupun neonatus.

Perdebatan mengenai dua hal ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu dan selalu berkaitan dengan isu politik, ekonomi, pengetahuan, moralitas, dan agama. Dalam kalangan Kristen sendiri, belum mencapai kata sepakat dalam hal kapan kehidupan dimulai. Kalangan Kristen konservatif adalah orang – orang yang aktif dalam gerakan pro-kehidupan. Mereka percaya bahwa kehidupan dimulai sejak konsepsi, oleh karena itu, embrio pun dianggap sudah memiliki hak hidup. Sedangkan kalangan liberal adalah pro-pilihan. Mereka yakin bahwa prinsip mengenai hak hidup dan hak pilih ada pada trimester pertama. Oleh karena itu, pada masa ini, keputusan untuk melakukan aborsi atas indikasi medis ada di tangan seorang wanita dan dokternya (Hutchinson, 2002)

Martabat sebagai manusialah yang memanusiakan manusia dan segala sesuatu yang menjadi cikal bakal manusia. Karena itu, sekalipun perbedaan ada di mana-mana, tetap sebagai seorang Kristen dokter memiliki pilihan yang tegas mengenai pandangannya. Karena hal ini kelak akan menentukan segala tindakannya saat dihadapkan dengan bioetik mengenai martabat manusia.

Penulis secara pribadi setuju bahwa manusia adalah ciptaan yang dicipta oleh Pencipta dengan tujuan tertentu. Dengan demikian, tidak ada manusia yang terjadi secara kebetulan.

Alkitab menyatakan bahwa manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (Kejadian 1:26-28). Artinya adalah manusia memiliki sifat – sifat Allah dan merupakan representasi Allah. Allah yang penuh kasih memberikan kasihNya kepada manusia. Dan manusia pun diharapkan juga mengasihi sesamaNya (Matius 22:37-40). Karena itu, tidak dibenarkan jika manusia, karena keberatannya (entah karena indikasi medis, perkosaan, jenis kelamin yang tidak diharapkan, atau hal – hal lainnya) atas bayi yang ada di dalam kandungannya, dengan mudah membunuhnya.

Namun hal ini memunculkan pertanyaan baru, “sejak kapankah mengeliminasi janin yang ada dalam kandungan disebut membunuh?”. Bukankah kita dikatakan membunuh apabila sesuatu itu sebelumnya sudah memiliki kehidupan? Jika yang dikeluarkan dari kandungan tadi belum memiliki kehidupan apakah sudah disebut dengan membunuh?

Kembali lagi ke hakikat penciptaan manusia. Manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Hal ini juga dapat diartikan bahwa manusia dikatakan menjadi manusia bukan karena dia memenuhi syarat  (bergerak, bernapas, berpikir, mengambil keputusan, merasakan, dan lain – lain hal yang seolah – olah memanusiakan manusia) menjadi manusia yang segambar dan serupa Allah itu. Namun manusia sejak semulanya diciptakan memiliki keberadaan sebagai manusia yaitu segambar dan serupa Allah.

Selanjutnya, perintah prokreasi bukan semata – mata meneruskan keturunan orang tua, melainkan juga meneruskan gambar Allah ini sehingga gambar Allah ini diwariskan. Sehingga keturunan manusia ini pun juga memiliki martabat sebagai gambar dan rupa Allah, yang jika merujuk pada pernyataan sebelumnya, berarti memiliki gambar dan rupa itu karena keberadaanya, bukan karena memenuhi syarat – syaratnya.

Lebih lanjut lagi, banyak sumber – sumber di Alkitab yang menyatakan bahwa manusia diciptakan Allah sejak dari dalam kandungan (Mazmur 139:13-15), sehingga semakin memperkuat untuk memaknai bahwa fetus adalah berharga sebagai manusia dan bukan sekadar “physical basis” yang memiliki potensi sebagai manusia.
Martabat manusia adalah isu fundamental dalam bioetik dan setiap hal dalam martabat manusia akan kembali ke pernyataan apakah arti menjadi manusia. Menjadi manusia berarti menjadi ciptaan yang mewarisi gambara dan rupa Allah. Konsekuensinya, setiap anggota keluarga manusia berharga dan harus dilindungi dan diperlakukan dengan penuh hormat pada setiap tahap kehidupan.

Implikasinya adalah, baik dalam kehamilan normal ataupun tidak normal (buatan), embrio sudah memiliki martabat sebagai manusia seutuhnya. Maka dari itu, tidak ada alasan untuk mengakhiri kehamilan dengan alasan apa pun.

Bibliography
Andrew Fergusson. (2006). Human Dignity: Still Defying Devaluation. The Center for Bioethics and Human Dignity. [Online]. Accessed date: October 16, 2011. From: http://cbhd.org/content/human-dignity-still-defying-devaluation
Holbrook, D. (1985). Medical ethics and the potentialities of the living being. British Medical Journal , 459-462.
Hutchinson, M. P. (2002). Bioethics for clinicians: 28. Protestant bioethics. Canadian Medical Association Journal , 339-343.


Oleh:
Cyntia Puspa P
PD FKUA 2008
010810581



No comments: