WHAT DOES IT MEAN TO BE A PERSON?
Sebuah perenungan tentang martabat manusia dalam
proses kehamilan
Apakah
arti menjadi manusia? Mengapa manusia itu berharga? Apa itu martabat manusia?
Adalah pertanyaan yang patut kita renungkan saat dihadapkan pada kasus-kasus
bioetik mengenai manusia. Manusia adalah makhluk yang diciptakan memiliki
cipta, rasa, dan karsa sehingga keberadaannya terus menjadi isu yang tidak
mencapai titik temu dari berbagai macam pihak.
Martabat
secara sederhana dapat diartikan sebagai “kualitas atas keberadaan yang layak
untuk mendapat penghargaan dan penghormatan”. Dengan demikian, martabat manusia
berarti kualitas atas keberadaan yang layak untuk mendapat penghargaan dan
penghormatan sebagai manusia. Yang menjadi pertanyaan adalah, siapa atau apa
sajakah yang menyandang martabat ini? Apakah embrio, fetus, dan neonatus yang
menjadi cikal bakal manusia dewasa sudah memiliki martabat sebagai manusia
sehingga harus dimanusiakan? Sejak kapankah kita harus memanusiakan mereka?
Ada
dua pendapat mengenai kapan kehidupan (keadaan menjadi manusia) itu dimulai.
Pendapat yang pertama adalah bahwa fetus hanyalah suatu “physical basis” yang
berarti tidak ada kehidupan di dalamnya. Fetus yang tidak bisa merasakan, tidak
bisa membuat pilihan tidak dapat dikatakan sebagai suatu individu/orang
(Holbrook, 1985). Dengan pendapat ini, berarti fetus yang belum lahir belum
memiliki hak apa pun dan seorang wanita yang mengandung akan memiliki
kebebasan: melahirkan bayi ini jika menginginkan ataupun mengakhiri kehamilian
tersebut (melakukan aborsi) jika tidak menginginkan bayi di dalam kandungannya.
Pendapat
yang kedua adalah pendapat bahwa fetus atau embrio sudah memiliki hak hidup
pada setiap tahap perkembangannya. Yang berarti tidak ada perbedaan ketika melakukan
“eliminasi” terhadap embrio, fetus, ataupun neonatus.
Perdebatan
mengenai dua hal ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu dan selalu
berkaitan dengan isu politik, ekonomi, pengetahuan, moralitas, dan agama. Dalam
kalangan Kristen sendiri, belum mencapai kata sepakat dalam hal kapan kehidupan
dimulai. Kalangan Kristen konservatif adalah orang – orang yang aktif dalam
gerakan pro-kehidupan. Mereka percaya bahwa kehidupan dimulai sejak konsepsi,
oleh karena itu, embrio pun dianggap sudah memiliki hak hidup. Sedangkan
kalangan liberal adalah pro-pilihan. Mereka yakin bahwa prinsip mengenai hak
hidup dan hak pilih ada pada trimester pertama. Oleh karena itu, pada masa ini,
keputusan untuk melakukan aborsi atas indikasi medis ada di tangan seorang wanita
dan dokternya (Hutchinson, 2002)
Martabat
sebagai manusialah yang memanusiakan manusia dan segala sesuatu yang menjadi
cikal bakal manusia. Karena itu, sekalipun perbedaan ada di mana-mana, tetap
sebagai seorang Kristen dokter memiliki pilihan yang tegas mengenai
pandangannya. Karena hal ini kelak akan menentukan segala tindakannya saat
dihadapkan dengan bioetik mengenai martabat manusia.
Penulis
secara pribadi setuju bahwa manusia adalah ciptaan yang dicipta oleh Pencipta
dengan tujuan tertentu. Dengan demikian, tidak ada manusia yang terjadi secara
kebetulan.
Alkitab
menyatakan bahwa manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (Kejadian
1:26-28). Artinya adalah manusia memiliki sifat – sifat Allah dan merupakan
representasi Allah. Allah yang penuh kasih memberikan kasihNya kepada manusia.
Dan manusia pun diharapkan juga mengasihi sesamaNya (Matius 22:37-40). Karena
itu, tidak dibenarkan jika manusia, karena keberatannya (entah karena indikasi
medis, perkosaan, jenis kelamin yang tidak diharapkan, atau hal – hal lainnya)
atas bayi yang ada di dalam kandungannya, dengan mudah membunuhnya.
Namun
hal ini memunculkan pertanyaan baru, “sejak kapankah mengeliminasi janin yang
ada dalam kandungan disebut membunuh?”. Bukankah kita dikatakan membunuh apabila
sesuatu itu sebelumnya sudah memiliki kehidupan? Jika yang dikeluarkan dari
kandungan tadi belum memiliki kehidupan apakah sudah disebut dengan membunuh?
Kembali
lagi ke hakikat penciptaan manusia. Manusia diciptakan segambar dan serupa
dengan Allah. Hal ini juga dapat diartikan bahwa manusia dikatakan menjadi
manusia bukan karena dia memenuhi syarat
(bergerak, bernapas, berpikir, mengambil keputusan, merasakan, dan lain
– lain hal yang seolah – olah memanusiakan manusia) menjadi manusia yang
segambar dan serupa Allah itu. Namun manusia sejak semulanya diciptakan
memiliki keberadaan sebagai manusia yaitu segambar dan serupa Allah.
Selanjutnya,
perintah prokreasi bukan semata – mata meneruskan keturunan orang tua,
melainkan juga meneruskan gambar Allah ini sehingga gambar Allah ini
diwariskan. Sehingga keturunan manusia ini pun juga memiliki martabat sebagai
gambar dan rupa Allah, yang jika merujuk pada pernyataan sebelumnya, berarti
memiliki gambar dan rupa itu karena keberadaanya, bukan karena memenuhi syarat
– syaratnya.
Lebih
lanjut lagi, banyak sumber – sumber di Alkitab yang menyatakan bahwa manusia
diciptakan Allah sejak dari dalam kandungan (Mazmur 139:13-15), sehingga
semakin memperkuat untuk memaknai bahwa fetus adalah berharga sebagai manusia dan
bukan sekadar “physical basis” yang memiliki potensi sebagai manusia.
Martabat
manusia adalah isu fundamental dalam bioetik dan setiap hal dalam martabat
manusia akan kembali ke pernyataan apakah arti menjadi manusia. Menjadi manusia
berarti menjadi ciptaan yang mewarisi gambara dan rupa Allah. Konsekuensinya,
setiap anggota keluarga manusia berharga dan harus dilindungi dan diperlakukan
dengan penuh hormat pada setiap tahap kehidupan.
Implikasinya
adalah, baik dalam kehamilan normal ataupun tidak normal (buatan), embrio sudah
memiliki martabat sebagai manusia seutuhnya. Maka dari itu, tidak ada alasan
untuk mengakhiri kehamilan dengan alasan apa pun.
Bibliography
Andrew Fergusson. (2006). Human
Dignity: Still Defying Devaluation. The Center for Bioethics and Human Dignity.
[Online]. Accessed date: October 16, 2011. From:
http://cbhd.org/content/human-dignity-still-defying-devaluation
Holbrook,
D. (1985). Medical ethics and the potentialities of the living being. British
Medical Journal , 459-462.
Hutchinson,
M. P. (2002). Bioethics for clinicians: 28. Protestant bioethics. Canadian
Medical Association Journal , 339-343.
Oleh:
Cyntia
Puspa P
PD
FKUA 2008
010810581
No comments:
Post a Comment