BAB 1
PENDAHULUAN
Pterigium adalah
satu dari beberapa kondisi mayor yang mengancam penglihatan di negara
berkembang (Saerang, 2013). Pterigium
merupakan pertumbuhan epitel konjungtiva bulbi dan jaringan ikat subkonjungtiva
pada mata dan dapat menganggu penglihatan (Erry dkk, 2011). Kondisi ini
menciptakan beberapa masalah, termasuk mata kering (dry eye),
astigmatisme irregular, dan masalah kosmetik yang sulit diterima (Saerang,
2013). Pada tingkat
lanjut, pterigium berpotensi menimbulkan kebutaan dan membutuhkan
operasi kompleks untuk rehabilitasi visual secara penuh (Gazzar, 2002).
Distribusi pterygium
tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas
dan kering yangmerupakan karakteristik dari daerah di sekitar khatulistiwa
(Saerang, 2013). Di populasi, prevalensi pterigium bervariasi, mulai 1,2% di
daerah perkotaan pada penduduk berkulit putih, sampai 23,4% pada populasi
berkulit hitam di Barbados (Gazzar, 2002). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan
Dasar tahun 2007, prevalensi pterigium di Indonesia pada kedua mata didapatkan
3,2% sedangkan pterigium pada satu mata 1,9% dengan prevalensi yang meningkat
dengan bertambahnya umur. Jawa timur
menduduki peringkat keenam di Indonesia dengan prevalensi 4,9% pada kedua mata,
dan 2,7% pada satu mata (Erry dkk, 2011).
Banyak cara dapat
dilakukan untuk mencegah pterigium menimbulkan masalah, antara lain dengan
menghindari faktor-faktor yang dapat memperburuk kondisi seperti kekeringan,
debu, angin, dan sinar Ultraviolet, dan melakukan tindakan bedah eksisi atas
indikasi (Erry, 2011) namun tidak semua penderita mengetahui kondisi
penyakitnya dan melakukan pengobatan dengan tepat. Pengetahuan mengenai faktor
risiko, penyebab, dan distribusi penyakit dapat bemanfaat untuk mencegah bekembangnya
penyakit sampai ke tingkat lanjut (Gazzar, 2002) yang diharapkan dapat
menurunkan dampak sosial dan ekonomi untuk penyakit ini. Melalui makalah
pterigium ini, penulis berharap dokter umum dapat mengenali gejala dan tanda,
dapat membuat diagnosis berdasakan pemeriksaan fisik, dan memberi terapi
pendahuluan sesuai kompetensinya sebelum merujuk ke spesialis mata.
No comments:
Post a Comment