PEMBUATAN
DAN PENGGUNAAN MORTIS WHEEL SEBAGAI ALAT PRAKTIS DALAM MENENTUKAN SAAT KEMATIAN
Cyntia
Puspa Pitaloka, Dien Aulia, Dilly Niza
Paramita, Hamzah Thalib, Irfan
Deny Sanjaya, M. Agung Marzah Median Bramantyo *
Bendrong Moediarso **
*Dokter
Muda Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
**
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
Abstract:
Thanatology is a branch of science needed by doctors especially
ones from forensic. Thanatology is useful for determining whether someone is
dead, how long he has been dead, and differentiate any changes during
ante-mortem and post-mortem. Determining the precise time of death is actually
not an easy task since the changes in human corpse are affected by many
factors. Many scientific methods are researched in order to approximate the
time of death, but unfortunately those methods are too complicated and
impractical. The purpose of this article is to apply Mortis Wheel as a
practical tool of determining the time of death based on interval of
post-mortal changes in human corpse.
Mortis Wheel is a wheel consist of two circles; the
outer one represents the time and the inner one represents post-mortal changes.
The application of Mortis Wheel has to meet several conditions; the corpse has
not enter the secondary flaccidity stadium yet, always settled in room
temperature, never settled in water or underground, and is not mutilated.
After several trials of case application, Mortis Wheel
is proved to be able to be used a practical tool in determining the time of
death.
Keyword: thanatology,
time of death, post mortem change, tool, mortis wheel
Pendahuluan
Tanatologi atau
yang secara umum dikenal sebagai science
of death merupakan ilmu yang penting
dikuasai oleh ahli kedokteran kehakiman ataupun dokter bukan ahli kedokteran
kehakiman. Tanatologi mempelajari perubahan-perubahan setelah kematian yang
sangat bermanfaat dalam menentukan apakah seseorang sudah meninggal atau belum,
menentukan berapa lama seseorang telah meninggal, dan membedakan perubahan post
mortal dengan kelainan yang terjadi pada waktu korban masih hidup (1).
Pertanyaan mengenai saat kematian sering
ditanyakan oleh penyidik (2). Menentukan saat kematian adalah hal yang penting
untuk dilakukan baik pada kasus kriminal atau sipil. Pada kasus kriminal, dapat
menentukan saat pembunuhan, mengeliminasi atau mencurigai tersangka,
mengkonfirmasi atau menolak alibi. Pada kasus sipil, waktu kematian dapat
menentukan siapa yang mendapat warisan atau apakah asuransi dapat diklaim (3). Sayangnya,
menentukan saat kematian bukanlah hal yang mudah karena perubahan setelah kematian
itu sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor (2).
Berbagai cara
diteliti oleh para ahli di bidang ilmu kedokteran kehakiman untuk menentukan interval
kematian dengan lebih akurat, seperti dengan menggunakan stimulasi miolektrik,
pengosongan lambung, suhu tubuh, kadar kalium dalam vitreous humour, dan
cara-cara lain untuk menentukan interval postmortem dengan akurasi “ilmiah” (4),
namun hal tersebut rumit dan tidak praktis untuk diterapkan di lapangan yang
membutuhkan penentuan perkiraan saat kematian dengan cepat dan mudah.
Berdasarkan hal
tersebut di atas, referat ini diajukan untuk mengetahui bagaimana cara
memperkirakan saat kematian korban dengan cepat dan mudah menggunakan sebuah
alat praktis yaitu Mortis Wheel (MW), yang dibuat berdasarkan
perubahan-perubahan dan interval post
mortem yang terjadi pada jenazah.
Tinjauan Pustaka
Tanatologi adalah
ilmu yang mempelajari perubahan-perubahan pada tubuh seseorang yang telah
meninggal (1). Tanatologi bermanfaat menentukan apakah seseorang benar-benar
telah meninggal, menentukan berapa lama seseorang telah meninggal, serta
membedakan perubahan ante mortem dan post mortem (1).
Stadium kematian
dibedakan menjadi somatic death dan cellular death. Somatic death, yaitu pernapasan dan peredaran darah berhenti
sehingga terjadi anoksia yang lengkap dan menyeluruh dalam jaringan-jaringan,
hal ini menyebabkan proses aerobik dalam sel-sel tubuh berhenti, tetapi proses
anaerobik masih berlangsung. Sedangkan cellular
death adalah proses metabolisme aerobik dan anaerobik di sel-sel tubuh yang
berhenti (1).
Somatic death ditandai dengan pergerakan dan
sensibilitas menghilang, pernapasan berhenti, serta denyut jantung dan
peredaran darah yang berhenti. Sedangkan cellular
death ditandai dengan penurunan suhu mayat, lebam mayat, kaku mayat, cutis
anserina, elastisitas kulit hilang, refleks kornea hilang, kornea keruh, bola
mata yang lunak dan berkerut, pupil ireguler atau lonjong, segmentasi pembuluh
darah retina, serta pembusukan, mummifikasi, atau adipocere (1).
Cara menentukan
saat kematian adalah dengan memperhatikan penurunan suhu mayat, lebam mayat,
kaku mayat, pembusukan, serta hal-hal lain yang ditemukan baik pada pemeriksaan
di tempat kejadian maupun pada waktu melakukan otopsi misalnya larva lalat.(1,4)
Perhitungan lama
kematian dengan penurunan suhu mayat adalah dengan rumus Lama Kematian = {98,4
F – Suhu Rektal (F)}/1,5 jam. Namun perhitungan ini tidak selamanya akurat
karena dipengaruhi suhu udara/air sekitar, aliran udara/air sekitar, makin
besar aliran makin cepat penurunan suhu, pakaian korban, kelembapan, massa
lemak dan otot korban, aktifitas antemortem, serta adanya sepsis (1).
Perhitungan lama
kematian dengan lebam mayat adalah, lebam muncul 15-20 menit setelah seseorang
meninggal dunia dan menetap setelah meninggal 4 jam. Namun perhitungan ini
dipengaruhi oleh volume darah dan koagulasi darah. Lebam mayat perlu dibedakan
dengan luka memar. Pada luka memar lokasi bisa di mana saja, pada lebam mayat
lokasi ada di bagian terendah karena pengaruh gravitasi. Luka memar tidak
hilang bila ditekan, lebam mayat awal (<4 jam) dapat hilang bila ditekan
(1,3,4). Pada luka memar dapat dijumpai pembengkakan di sekitar derah luka,
sedangkan pada lebam mayat tidak ada pembengkakan. Luka memar bila diinsisi
darah ada di ekstravaskuler, sedangkan lebam mayat bila diinsisi darah ada di intravaskuler. Pada luka memar dapat ditemukan
tanda intravital, sedangkan pada lebam mayat tidak ada tanda intravital
(1).
Perhitungan lama
kematian dengan kaku mayat adalah dengan memperhatikan tahap-tahap kaku mayat
adalah primary flaccidity, yaitu otot mayat masih lemas selama 2-3 jam pertama.
Lalu kaku mayat sebagian, yaitu otot-otot tubuh mulai kaku satu per satu, mulai
dari otot orbicularis oculi, otot
rahang bawah, otot leher, ekstremitas atas, toraks, abdomen, dan terakhir
ekstremitas bawah. Proses ini berlangsung selama 3 jam. Lalu kaku mayat
lengkap, yaitu seluruh otot-otot tubuh akan kaku selama 12 jam. Lalu kaku mayat
menghilang, yaitu otot-otot tubuh akan mulai lemas satu per satu karena dimulai
proses pembusukan, mulai dari otot orbicularis
oculi, otot leher, ekstremitas atas, toraks, abdomen, ekstremitas bawah,
dan terakhir otot rahang bawah. Proses ini berlangsung selama 6 jam. Lalu secondary flaccidity, yaitu otot mayat
lemas seluruhnya karena pembusukan. Namun proses ini dipengaruhi oleh suhu
lingkungan di sekitar mayat, konvulsi atau aktivitas otot sebelum meninggal,
umur korban, dan status gizi (1).
Kaku mayat perlu
dibedakan beberapa keadaan yaitu heat
stiffening, cold stiffening, dan cadaveric spasme. Heat stiffening adalah
mayat yang menjadi kaku akibat koagulasi protein pada suhu tinggi, cirinya
adalah mayat akan mengambil posisi pugilistic
attitude. Terjadi pada korban/jenazah yang terbakar atau tersiram cairan
panas. Cold stiffening (freezing)
adalah kaku sendi akibat cairan sinovial yang membeku pada suhu yang sangat
rendah. Cirinya adalah bila sendi digerakkan akan ada krepitasi, dan sendi akan
kembali lemas bila jenazah dihangatkan kembali. Cadaveric spasme (instantaneous
rigor) adalah kontraksi otot/sekelompok otot sejak stadium somatic death, bisa seluruh otot tubuh, bisa sekelompok otot
tertentu. Kontraksi ini akan dipertahankan
hingga timbul pembusukan. Terjadi pada stadium somatic death yang sangat cepat dan disertai emosi yang hebat sesaat sebelum
korban meninggal (1).
Perhitungan lama
kematian dengan pembusukan adalah pembusukan dimulai 18-24 jam setelah
seseorang meninggal, yaitu saat kaku mayat mulai menghilang. Namun dipengaruhi
sterilitas, suhu, kelembapan, medium, umur, edema, massa lemak, peradangan,
mutilasi, keracunan bahan pengawet kronis, serta pasca melahirkan (1).
Perhitungan saat
kematian dengan memperhatikan larva lalat adalah lalat akan menaruh telur pada
jenazah yang mulai membusuk (18-24 jam setelah meninggal). Telur akan menetas
dalam waktu 8-14 jam setelah ditaruh. Telur yang menetas mengeluarkan larva
lalat yang tumbuh membesar selama 9-12 hari berikutnya sebelum akhirnya menjadi
kepompong. Kepompong akan berlangsung selama 12 hari sebelum akhirnya menjadi
lalat dewasa (1).
Cara Pembuatan
Mortis Wheel
(yang selanjutnya akan ditulis MW) dibuat dalam 2 bentuk yaitu cetak dan software dimulai dengan pembuatan 2
lingkaran, yaitu lingkaran luar dan dalam, menggunakan program komputer Corel
Draw X4. Diameter masing-masing lingkaran dibuat sesuai kebutuhan dengan
lingkaran luar > dalam. Lingkaran luar merupakan komponen waktu sedangkan
lingkaran dalam merupakan komponen perubahan post mortem (Cellular Death).
Lingkaran luar dibagi menjadi 96 juring sama besar (sudut 3.75o) dengan tiap
juring menggambarkan satuan waktu 15 menit. Kemudian tiap 4 juring diberi
keterangan waktu dalam jam (0-24). Lingkaran dalam dibagi menjadi 6 juring
dengan sudut, berurutan berlawanan arah jarum jam, 3.75o, 15o,
26.25o, 45o, 180o, 90o.
Juring-juring lingkaran dalam menunjukkan perubahan post mortem (Cellular Death)
berurutan berlawanan arah jarum jam yaitu belum ada perubahan, lebam mayat,
kaku mayat tidak lengkap dengan lebam mayat belum menetap, kaku mayat tidak
lengkap dengan lebam mayat menetap, kaku mayat lengkap, kaku mayat mulai
menghilang yang disertai dengan pembusukan. MW dalam bentuk cetak dibuat dengan
mencetak kedua lingkaran tersebut dan menghubungkannya dengan poros sehingga
lingkaran dalam dapat diputar terhadap lingkaran luar. MW dalam bentuk cetak
juga disertai dengan keterangan pengunaannya. MW dalam bentuk software dibuat dengan menggunakan
program komputer Adobe Flash CS4
Professional dan Action Script 3.0
digunakan sebagai bahasa program. Software
MW dibuat sedemikian sehingga lingkaran dalam dapat berputar terhadap lingkaran
luar mengikuti posisi mouse.
Cara Penggunaan
MW dapat
digunakan dan memberikan informasi yang tepat apabila mayat belum dalam stadium
secondary flaccidity yang menunjukkan
umur mayat lebih dari 24 jam dan belum ada larva yang menunjukkan umur mayat
lebih dari 26 jam. Mayat harus diyakini selalu berada pada suhu ruang, tidak
pernah di dalam air maupun di dalam tanah, karena dapat mempengaruhi kecepatan
kaku mayat dan pembusukan. Mayat harus bukan yang dimutilasi karena mutilasi
membuat mayat lebih cepat membusuk. Selain itu, pengguna MW harus membedakan
kaku mayat dengan heat stiffening, cold stiffening, cadaveric spasme,
mummifikasi, dan adipocere.
Pemeriksaan
mayat untuk mengumpulkan data MW adalah dipastikan dahulu bahwa korban sudah
meninggal, kemudian jam saat itu harus dicatat atau diingat. Lalu diperiksa
apakah ada larva pada tubuh korban, jika sudah ada larva berarti korban sudah
pasti membusuk dan sudah meninggal lebih dari 26 jam maka untuk menentukan saat
kematian tidak bisa menggunakan MW. Lalu memeriksa pembusukan, biasanya dimulai
pada perut kanan bawah korban, warna hijau di daerah ini berarti sudah ada
pembusukan. Pemeriksaan kaku mayat dapat dilakukan pada sendi leher dan lutut,
berdasarkan urutan muncul kaku mayat maka pemeriksaan 2 sendi ini cukup untuk
membedakan kaku mayat belum lengkap, lengkap, dan mulai menghilang. Lebam mayat
diperiksa pada bagian terendah mayat, jika ada dilakukan penekanan pada lebam
mayat tersebut untuk mengetahui apakah lebam mayat sudah menetap atau belum.
Lebam mayat yang menetap tidak hilang bila ditekan.
Jika ada sudah
larva pada tubuh korban, berarti umur mayat sudah lebih dari 26 jam sehingga MW
tidak dapat digunakan, jam kematian harus ditentukan dengan cara lain. Jika
belum ada larva pada tubuh korban, panah MW diarahkan sesuai waktu saat korban
diperiksa. Lalu baca jam kematian sesuai waktu yang ditunjuk juring MW sesuai
kombinasi yang didapat pada pemeriksaan mayat.
Kombinasi hasil
pemeriksaan mayat (perubahan post mortem)
yang dapat ditemukan ada beberapa macam. Yang pertama sendi lutut dan leher
yang tidak kaku disertai ada tanda pembusukan (lebam mayat pasti sudah muncul
dan menetap pada kondisi ini) berarti mayat sudah dalam secondary flaccidity,
umur mayat sudah lebih dari 24 jam. Saat kematian adalah sebelum waktu yang
ditunjuk panah MW pada tanggal kemarin. Yang kedua adalah sendi lutut kaku
tetapi sendi leher tidak kaku (pembusukan pasti sudah muncul dan lebam mayat
pasti sudah muncul dan menetap) berarti saat ini kaku mayat mulai menghilang,
perkiraan saat kematian korban adalah antara waktu pada juring “KAKU MAYAT
MULAI MENGHILANG”. Yang ketiga adalah sendi lutut dan sendi leher kaku (lebam
mayat pasti sudah muncul dan menetap, pembusukan seharusnya belum muncul)
berarti kaku mayat lengkap, perkiraan saat kematian korban adalah antara waktu
pada juring “KAKU MAYAT LENGKAP”. Yang keempat adalah sendi leher kaku tetapi
sendi lutut tidak kaku dan lebam mayat sudah menetap. Berarti kaku mayat belum
lengkap dan lebam mayat sudah menetap, perkiraan saat kematian korban adalah
antara waktu pada juring “KAKU MAYAT BELUM LENGKAP B”. Yang kelima adalah sendi
leher kaku tetapi sendi lutut tidak kaku dan lebam mayat belum menetap berarti
kaku mayat belum lengkap dan lebam mayat belum menetap, perkiraan saat kematian
korban adalah antara waktu pada juring “KAKU MAYAT BELUM LENGKAP A”. Yang
keenam adalah sendi lutut dan leher tidak kaku tanpa disertai tanda pembusukan
dan sudah ada lebam mayat yang belum menetap berarti belum ada kaku mayat dan
sudah ada lebam mayat, perkiraan saat kematian korban adalah antara waktu pada
juring “LEBAM MAYAT”. Yang terakhir adalah sendi lutut dan leher tidak kaku
tanpa disertai tanda pembusukan dan belum ada lebam mayat berarti belum ada
perubahan post mortem, perkiraan saat
kematian korban adalah antara waktu pada juring “X”.
Contoh Kasus
1.
Pada tanggal 1 Maret 2012 pukul 07:00 WIB ditemukan:
Korban laki-laki dengan posisi
terlentang. Lebam mayat (+) pada punggung, tidak hilang bila ditekan. Kaku
mayat (+) sendi rahang, leher, jari, dan lutut. Tidak ada tanda-tanda pembusukan.
Kapan korban meninggal?
Dengan perhitungan
manual, dari data diatas disimpulkan bahwa:
•
Pembusukan belum ada berarti korban meninggal tidak lebih dari 18 jam yang
lalu
•
Lebam mayat (+) dan menetap berarti korban meninggal lebih dari 4 jam yang
lalu
•
Kaku mayat lengkap berarti korban meninggal sekitar 6-18 jam yang lalu
Kita gunakan range yang paling sempit
yaitu kaku mayat, sehingga disimpulkan bahwa korban meninggal sekitar 6-18 jam
yang lalu
Saat kematian adalah antara 1 Maret
2012, 07:00 dikurangi 18 jam hingga 1 Maret 2012, 07:00 dikurangi 6 jam yaitu 28 Februari 2012, 13:00 hingga 1 Maret 2012, 01:00.
Dengan MW, dari data diatas kita cukup melihat pada juring “KAKU MAYAT
LENGKAP” sehingga jawaban adalah waktu antara pada juring tersebut yaitu 28 Februari 2012, 13:00 hingga 1
Maret 2012, 01:00 (Gambar 2). Jadi menentukan saat kematian menggunakan MW menghasilkan
jawaban yang sama dengan perhitungan manual.
2. Pada tanggal 1 Maret 2012 pukul 07:00
WIB ditemukan:
Korban laki-laki dengan posisi
terlentang. Lebam mayat (+) pada punggung, hilang bila ditekan. Kaku mayat (+)
sendi rahang dan leher, sedangkan jari dan lutut tidak kaku. Tidak ada
tanda-tanda pembusukan. Kapan korban meninggal?
Dengan perhitungan manual, dari data di atas disimpulkan bahwa:
• Pembusukan belum ada berarti korban
meninggal tidak lebih dari 18 jam yang lalu
• Lebam mayat (+) dan belum menetap
berarti korban meninggal antara 15 menit yang lalu hingga 4 jam yang lalu
• Kaku mayat tidak lengkap berarti
korban meninggal sekitar 3-6 jam yang lalu
Kita gunakan range yang paling sempit
yaitu irisan antara lebam mayat belum menetap dengan kaku mayat tidak lengkap,
sehingga disimpulkan bahwa korban meninggal antara 3-4 jam yang lalu.
Saat kematian adalah antara 1 Maret 2012, 07:00 dikurangi 4 jam hingga 1 Maret 2012, 07:00 dikurangi 3 jam yaitu 1 Maret 2012, 3:00 hingga 1 Maret 2012, 04:00 (Gambar 3).
Dengan MW, dari
data diatas kita cukup melihat pada juring “KAKU MAYAT TIDAK LENGKAP A” sehingga jawaban adalah waktu antara pada
juring tersebut yaitu 1 Maret 2012, 3:00 hingga 1 Maret 2012, 4.00
(Gambar 3). Jadi menentukan saat kematian menggunakan MW
menghasilkan jawaban yang sama dengan perhitungan manual.
Korban laki-laki dengan posisi
terlentang. Lebam mayat (+) pada punggung, tidak hilang bila ditekan. Kaku
mayat (-) pada semua sendi. Abdomen korban berwarna kehijauan. Belum ada
satupun larva pada tubuh korban. Kapan korban meninggal?
Dari data diatas disimpulkan bahwa:
• Pembusukan sudah ada berarti korban
meninggal lebih dari 18 jam yang lalu
• Lebam mayat (+) dan menetap berarti
korban meninggal lebih dari 4 jam yang lalu
• Kaku mayat sudah menghilang (secondary flaccidity) berarti korban meninggal lebih dari 24 jam yang lalu
• Belum ada larva pada tubuh korban,
berarti korban meninggal kurang dari 26 jam yang lalu
Kita gunakan range yang paling sempit
yaitu irisan antara secondary flaccidity
dengan belum munculnya larva, sehingga disimpulkan bahwa korban meninggal antara
24-26 jam yang lalu.
Saat kematian adalah antara 1 Maret
2012, 07:00 - 26 jam hingga 1 Maret 2012, 07:00 - 24 jam.
Jawab: saat kematian korban adalah 28
Februari 2012, 05:00 hingga 28 Februari 2012, 07:00. Area ini tidak terdapat pada
juring manapun pada MW, dan menunjukkan keterbatasan MW.
(Gambar 4).
Kesimpulan dan
Saran
Menentukan saat kematian bukanlah hal mudah
karena perubahan setelah kematian dipengaruhi oleh banyak faktor. Berbagai cara
ilmiah diteliti oleh para ahli untuk menentukan perkiraan saat kematian tetapi
hal itu rumit dan tidak praktis.
Setelah melalui percobaan pengaplikasian MW
pada beberapa kasus, MW terbukti dapat digunakan untuk menentukan saat kematian
dengan praktis. Dengan keterbatasan akan
adanya beberapa syarat pengguanaan yang harus dipenuhi, diperlukan penelitian
dan penyempurnaan lebih lanjut agar penentuan saat kematian menjadi lebih baik,
cepat, tepat, dan murah.
Ucapan Terima Kasih
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Ketua Departemen Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Kepala Instalasi Departemen Forensik dan Medikolegal RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, Koordinator Pendidikan Departemen
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Staf Departemen Forensik
dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Peserta Program
Pendidikan Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya, Dosen pembimbing
kelompok yang
telah membimbing dan mengarahkan
penulis dalam menyelesaikan makalah ilmiah ini.
Daftar Pustaka
1. Hariadi
Apuranto, Mutahal. Tanatologi. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Edisi
Ketujuh. Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga; 2010. page 115–26.
2. Derrick J.
Pounder. Postmortem Changes and Time of Death [Internet]. University of Dundee;
1995 [cited 2013 Jul 7]. Available from: www.dundee.ac.uk/forensicmedicine/notes/timedeath.pdf
3. Vincent J.
DiMaio, Dominick DiMaio. Time of Death. Forensic Pathology. Second Edition.
Floria: CRC Press LLC; 2001. page 21.
4. Emma Lew, Evan
Matshes. Postmortem Changes. Forensic Pathology Principle and Practice. London:
Elsevier Academic Press; 2005. page 527 –554.
No comments:
Post a Comment