Saturday, September 28, 2013

PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN MORTIS WHEEL SEBAGAI ALAT PRAKTIS DALAM MENENTUKAN SAAT KEMATIAN

PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN MORTIS WHEEL SEBAGAI ALAT PRAKTIS DALAM MENENTUKAN SAAT KEMATIAN

Cyntia Puspa Pitaloka, Dien Aulia, Dilly Niza Paramita, Hamzah Thalib, Irfan Deny Sanjaya, M. Agung Marzah Median Bramantyo *
Bendrong Moediarso **

*Dokter Muda Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
** Departemen Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya

Abstract:

Thanatology is a branch of science needed by doctors especially ones from forensic. Thanatology is useful for determining whether someone is dead, how long he has been dead, and differentiate any changes during ante-mortem and post-mortem. Determining the precise time of death is actually not an easy task since the changes in human corpse are affected by many factors. Many scientific methods are researched in order to approximate the time of death, but unfortunately those methods are too complicated and impractical. The purpose of this article is to apply Mortis Wheel as a practical tool of determining the time of death based on interval of post-mortal changes in human corpse.
Mortis Wheel is a wheel consist of two circles; the outer one represents the time and the inner one represents post-mortal changes. The application of Mortis Wheel has to meet several conditions; the corpse has not enter the secondary flaccidity stadium yet, always settled in room temperature, never settled in water or underground, and is not mutilated.
After several trials of case application, Mortis Wheel is proved to be able to be used a practical tool in determining the time of death.
Keyword: thanatology, time of death, post mortem change, tool, mortis wheel




Pendahuluan

Tanatologi atau yang secara umum dikenal sebagai science of death merupakan  ilmu yang penting dikuasai oleh ahli kedokteran kehakiman ataupun dokter bukan ahli kedokteran kehakiman. Tanatologi mempelajari perubahan-perubahan setelah kematian yang sangat bermanfaat dalam menentukan apakah seseorang sudah meninggal atau belum, menentukan berapa lama seseorang telah meninggal, dan membedakan perubahan post mortal dengan kelainan yang terjadi pada waktu korban masih hidup (1).
 Pertanyaan mengenai saat kematian sering ditanyakan oleh penyidik (2). Menentukan saat kematian adalah hal yang penting untuk dilakukan baik pada kasus kriminal atau sipil. Pada kasus kriminal, dapat menentukan saat pembunuhan, mengeliminasi atau mencurigai tersangka, mengkonfirmasi atau menolak alibi. Pada kasus sipil, waktu kematian dapat menentukan siapa yang mendapat warisan atau apakah asuransi dapat diklaim (3). Sayangnya, menentukan saat kematian bukanlah hal yang mudah karena perubahan setelah kematian itu sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor (2).
Berbagai cara diteliti oleh para ahli di bidang ilmu kedokteran kehakiman untuk menentukan interval kematian dengan lebih akurat, seperti dengan menggunakan stimulasi miolektrik, pengosongan lambung, suhu tubuh, kadar kalium dalam vitreous humour, dan cara-cara lain untuk menentukan interval postmortem dengan akurasi “ilmiah” (4), namun hal tersebut rumit dan tidak praktis untuk diterapkan di lapangan yang membutuhkan penentuan perkiraan saat kematian dengan cepat dan mudah.
Berdasarkan hal tersebut di atas, referat ini diajukan untuk mengetahui bagaimana cara memperkirakan saat kematian korban dengan cepat dan mudah menggunakan sebuah alat praktis yaitu Mortis Wheel (MW), yang dibuat berdasarkan perubahan-perubahan dan interval post mortem yang terjadi pada jenazah.

Tinjauan Pustaka
Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari perubahan-perubahan pada tubuh seseorang yang telah meninggal (1). Tanatologi bermanfaat menentukan apakah seseorang benar-benar telah meninggal, menentukan berapa lama seseorang telah meninggal, serta membedakan perubahan ante mortem dan post mortem (1).
Stadium kematian dibedakan menjadi somatic death dan cellular death. Somatic death, yaitu pernapasan dan peredaran darah berhenti sehingga terjadi anoksia yang lengkap dan menyeluruh dalam jaringan-jaringan, hal ini menyebabkan proses aerobik dalam sel-sel tubuh berhenti, tetapi proses anaerobik masih berlangsung. Sedangkan cellular death adalah proses metabolisme aerobik dan anaerobik di sel-sel tubuh yang berhenti (1).
Somatic death ditandai dengan pergerakan dan sensibilitas menghilang, pernapasan berhenti, serta denyut jantung dan peredaran darah yang berhenti. Sedangkan cellular death ditandai dengan penurunan suhu mayat, lebam mayat, kaku mayat, cutis anserina, elastisitas kulit hilang, refleks kornea hilang, kornea keruh, bola mata yang lunak dan berkerut, pupil ireguler atau lonjong, segmentasi pembuluh darah retina, serta pembusukan, mummifikasi, atau adipocere (1).
Cara menentukan saat kematian adalah dengan memperhatikan penurunan suhu mayat, lebam mayat, kaku mayat, pembusukan, serta hal-hal lain yang ditemukan baik pada pemeriksaan di tempat kejadian maupun pada waktu melakukan otopsi misalnya larva lalat.(1,4)
Perhitungan lama kematian dengan penurunan suhu mayat adalah dengan rumus Lama Kematian = {98,4 F – Suhu Rektal (F)}/1,5 jam. Namun perhitungan ini tidak selamanya akurat karena dipengaruhi suhu udara/air sekitar, aliran udara/air sekitar, makin besar aliran makin cepat penurunan suhu, pakaian korban, kelembapan, massa lemak dan otot korban, aktifitas antemortem, serta adanya sepsis (1).
Perhitungan lama kematian dengan lebam mayat adalah, lebam muncul 15-20 menit setelah seseorang meninggal dunia dan menetap setelah meninggal 4 jam. Namun perhitungan ini dipengaruhi oleh volume darah dan koagulasi darah. Lebam mayat perlu dibedakan dengan luka memar. Pada luka memar lokasi bisa di mana saja, pada lebam mayat lokasi ada di bagian terendah karena pengaruh gravitasi. Luka memar tidak hilang bila ditekan, lebam mayat awal (<4 jam) dapat hilang bila ditekan (1,3,4). Pada luka memar dapat dijumpai pembengkakan di sekitar derah luka, sedangkan pada lebam mayat tidak ada pembengkakan. Luka memar bila diinsisi darah ada di ekstravaskuler, sedangkan lebam mayat bila diinsisi darah ada di intravaskuler. Pada luka memar dapat ditemukan tanda intravital, sedangkan pada lebam mayat tidak ada tanda intravital (1).
Perhitungan lama kematian dengan kaku mayat adalah dengan memperhatikan tahap-tahap kaku mayat adalah primary flaccidity, yaitu otot mayat masih lemas selama 2-3 jam pertama. Lalu kaku mayat sebagian, yaitu otot-otot tubuh mulai kaku satu per satu, mulai dari otot orbicularis oculi, otot rahang bawah, otot leher, ekstremitas atas, toraks, abdomen, dan terakhir ekstremitas bawah. Proses ini berlangsung selama 3 jam. Lalu kaku mayat lengkap, yaitu seluruh otot-otot tubuh akan kaku selama 12 jam. Lalu kaku mayat menghilang, yaitu otot-otot tubuh akan mulai lemas satu per satu karena dimulai proses pembusukan, mulai dari otot orbicularis oculi, otot leher, ekstremitas atas, toraks, abdomen, ekstremitas bawah, dan terakhir otot rahang bawah. Proses ini berlangsung selama 6 jam. Lalu secondary flaccidity, yaitu otot mayat lemas seluruhnya karena pembusukan. Namun proses ini dipengaruhi oleh suhu lingkungan di sekitar mayat, konvulsi atau aktivitas otot sebelum meninggal, umur korban, dan status gizi (1).
Kaku mayat perlu dibedakan beberapa keadaan yaitu heat stiffening, cold stiffening, dan cadaveric spasme. Heat stiffening adalah mayat yang menjadi kaku akibat koagulasi protein pada suhu tinggi, cirinya adalah mayat akan mengambil posisi pugilistic attitude. Terjadi pada korban/jenazah yang terbakar atau tersiram cairan panas. Cold stiffening (freezing) adalah kaku sendi akibat cairan sinovial yang membeku pada suhu yang sangat rendah. Cirinya adalah bila sendi digerakkan akan ada krepitasi, dan sendi akan kembali lemas bila jenazah dihangatkan kembali. Cadaveric spasme (instantaneous rigor) adalah kontraksi otot/sekelompok otot sejak stadium somatic death, bisa seluruh otot tubuh, bisa sekelompok otot tertentu. Kontraksi ini akan dipertahankan hingga timbul pembusukan. Terjadi pada stadium somatic death yang sangat cepat dan disertai emosi yang hebat sesaat sebelum korban meninggal (1).
Perhitungan lama kematian dengan pembusukan adalah pembusukan dimulai 18-24 jam setelah seseorang meninggal, yaitu saat kaku mayat mulai menghilang. Namun dipengaruhi sterilitas, suhu, kelembapan, medium, umur, edema, massa lemak, peradangan, mutilasi, keracunan bahan pengawet kronis, serta pasca melahirkan (1).
Perhitungan saat kematian dengan memperhatikan larva lalat adalah lalat akan menaruh telur pada jenazah yang mulai membusuk (18-24 jam setelah meninggal). Telur akan menetas dalam waktu 8-14 jam setelah ditaruh. Telur yang menetas mengeluarkan larva lalat yang tumbuh membesar selama 9-12 hari berikutnya sebelum akhirnya menjadi kepompong. Kepompong akan berlangsung selama 12 hari sebelum akhirnya menjadi lalat dewasa (1).

Cara Pembuatan
Mortis Wheel (yang selanjutnya akan ditulis MW) dibuat dalam 2 bentuk yaitu cetak dan software dimulai dengan pembuatan 2 lingkaran, yaitu lingkaran luar dan dalam, menggunakan program komputer  Corel Draw X4. Diameter masing-masing lingkaran dibuat sesuai kebutuhan dengan lingkaran luar > dalam. Lingkaran luar merupakan komponen waktu sedangkan lingkaran dalam merupakan komponen perubahan post mortem (Cellular Death). Lingkaran luar dibagi menjadi 96 juring sama besar (sudut 3.75o) dengan tiap juring menggambarkan satuan waktu 15 menit. Kemudian tiap 4 juring diberi keterangan waktu dalam jam (0-24). Lingkaran dalam dibagi menjadi 6 juring dengan sudut, berurutan berlawanan arah jarum jam, 3.75o, 15o, 26.25o, 45o, 180o, 90o. Juring-juring lingkaran dalam menunjukkan perubahan post mortem (Cellular Death) berurutan berlawanan arah jarum jam yaitu belum ada perubahan, lebam mayat, kaku mayat tidak lengkap dengan lebam mayat belum menetap, kaku mayat tidak lengkap dengan lebam mayat menetap, kaku mayat lengkap, kaku mayat mulai menghilang yang disertai dengan pembusukan. MW dalam bentuk cetak dibuat dengan mencetak kedua lingkaran tersebut dan menghubungkannya dengan poros sehingga lingkaran dalam dapat diputar terhadap lingkaran luar. MW dalam bentuk cetak juga disertai dengan keterangan pengunaannya. MW dalam bentuk software dibuat dengan menggunakan program komputer Adobe Flash CS4 Professional dan Action Script 3.0 digunakan sebagai bahasa program. Software MW dibuat sedemikian sehingga lingkaran dalam dapat berputar terhadap lingkaran luar mengikuti posisi mouse.

Cara Penggunaan
MW dapat digunakan dan memberikan informasi yang tepat apabila mayat belum dalam stadium secondary flaccidity yang menunjukkan umur mayat lebih dari 24 jam dan belum ada larva yang menunjukkan umur mayat lebih dari 26 jam. Mayat harus diyakini selalu berada pada suhu ruang, tidak pernah di dalam air maupun di dalam tanah, karena dapat mempengaruhi kecepatan kaku mayat dan pembusukan. Mayat harus bukan yang dimutilasi karena mutilasi membuat mayat lebih cepat membusuk. Selain itu, pengguna MW harus membedakan kaku mayat dengan heat stiffening, cold stiffening, cadaveric spasme, mummifikasi, dan adipocere.

Pemeriksaan mayat untuk mengumpulkan data MW adalah dipastikan dahulu bahwa korban sudah meninggal, kemudian jam saat itu harus dicatat atau diingat. Lalu diperiksa apakah ada larva pada tubuh korban, jika sudah ada larva berarti korban sudah pasti membusuk dan sudah meninggal lebih dari 26 jam maka untuk menentukan saat kematian tidak bisa menggunakan MW. Lalu memeriksa pembusukan, biasanya dimulai pada perut kanan bawah korban, warna hijau di daerah ini berarti sudah ada pembusukan. Pemeriksaan kaku mayat dapat dilakukan pada sendi leher dan lutut, berdasarkan urutan muncul kaku mayat maka pemeriksaan 2 sendi ini cukup untuk membedakan kaku mayat belum lengkap, lengkap, dan mulai menghilang. Lebam mayat diperiksa pada bagian terendah mayat, jika ada dilakukan penekanan pada lebam mayat tersebut untuk mengetahui apakah lebam mayat sudah menetap atau belum. Lebam mayat yang menetap tidak hilang bila ditekan.

Jika ada sudah larva pada tubuh korban, berarti umur mayat sudah lebih dari 26 jam sehingga MW tidak dapat digunakan, jam kematian harus ditentukan dengan cara lain. Jika belum ada larva pada tubuh korban, panah MW diarahkan sesuai waktu saat korban diperiksa. Lalu baca jam kematian sesuai waktu yang ditunjuk juring MW sesuai kombinasi yang didapat pada pemeriksaan mayat.

Kombinasi hasil pemeriksaan mayat (perubahan post mortem) yang dapat ditemukan ada beberapa macam. Yang pertama sendi lutut dan leher yang tidak kaku disertai ada tanda pembusukan (lebam mayat pasti sudah muncul dan menetap pada kondisi ini) berarti mayat sudah dalam secondary flaccidity, umur mayat sudah lebih dari 24 jam. Saat kematian adalah sebelum waktu yang ditunjuk panah MW pada tanggal kemarin. Yang kedua adalah sendi lutut kaku tetapi sendi leher tidak kaku (pembusukan pasti sudah muncul dan lebam mayat pasti sudah muncul dan menetap) berarti saat ini kaku mayat mulai menghilang, perkiraan saat kematian korban adalah antara waktu pada juring “KAKU MAYAT MULAI MENGHILANG”. Yang ketiga adalah sendi lutut dan sendi leher kaku (lebam mayat pasti sudah muncul dan menetap, pembusukan seharusnya belum muncul) berarti kaku mayat lengkap, perkiraan saat kematian korban adalah antara waktu pada juring “KAKU MAYAT LENGKAP”. Yang keempat adalah sendi leher kaku tetapi sendi lutut tidak kaku dan lebam mayat sudah menetap. Berarti kaku mayat belum lengkap dan lebam mayat sudah menetap, perkiraan saat kematian korban adalah antara waktu pada juring “KAKU MAYAT BELUM LENGKAP B”. Yang kelima adalah sendi leher kaku tetapi sendi lutut tidak kaku dan lebam mayat belum menetap berarti kaku mayat belum lengkap dan lebam mayat belum menetap, perkiraan saat kematian korban adalah antara waktu pada juring “KAKU MAYAT BELUM LENGKAP A”. Yang keenam adalah sendi lutut dan leher tidak kaku tanpa disertai tanda pembusukan dan sudah ada lebam mayat yang belum menetap berarti belum ada kaku mayat dan sudah ada lebam mayat, perkiraan saat kematian korban adalah antara waktu pada juring “LEBAM MAYAT”. Yang terakhir adalah sendi lutut dan leher tidak kaku tanpa disertai tanda pembusukan dan belum ada lebam mayat berarti belum ada perubahan post mortem, perkiraan saat kematian korban adalah antara waktu pada juring “X”.

Contoh Kasus
1.   Pada tanggal 1 Maret 2012 pukul 07:00 WIB ditemukan:
Korban laki-laki dengan posisi terlentang. Lebam mayat (+) pada punggung, tidak hilang bila ditekan. Kaku mayat (+) sendi rahang, leher, jari, dan lutut. Tidak ada tanda-tanda pembusukan. Kapan korban meninggal?
Dengan perhitungan manual, dari data diatas disimpulkan bahwa:
•    Pembusukan belum ada berarti korban meninggal tidak lebih dari 18 jam yang lalu
    Lebam mayat (+) dan menetap berarti korban meninggal lebih dari 4 jam yang lalu
•    Kaku mayat lengkap berarti korban meninggal sekitar 6-18 jam yang lalu
Kita gunakan range yang paling sempit yaitu kaku mayat, sehingga disimpulkan bahwa korban meninggal sekitar 6-18 jam yang lalu
Saat kematian adalah antara 1 Maret 2012, 07:00 dikurangi 18 jam hingga 1 Maret 2012, 07:00 dikurangi 6 jam yaitu 28 Februari 2012, 13:00 hingga 1 Maret 2012, 01:00.
Dengan MW, dari data diatas kita cukup melihat pada juring “KAKU MAYAT LENGKAP” sehingga jawaban adalah waktu antara pada juring tersebut yaitu 28 Februari 2012, 13:00 hingga 1 Maret 2012, 01:00  (Gambar 2). Jadi menentukan saat kematian menggunakan MW menghasilkan jawaban yang sama dengan perhitungan manual.

2.   Pada tanggal 1 Maret 2012 pukul 07:00 WIB ditemukan:
Korban laki-laki dengan posisi terlentang. Lebam mayat (+) pada punggung, hilang bila ditekan. Kaku mayat (+) sendi rahang dan leher, sedangkan jari dan lutut tidak kaku. Tidak ada tanda-tanda pembusukan. Kapan korban meninggal?
Dengan perhitungan manual, dari data di atas disimpulkan bahwa:
•    Pembusukan belum ada berarti korban meninggal tidak lebih dari 18 jam yang lalu
•    Lebam mayat (+) dan belum menetap berarti korban meninggal antara 15 menit yang lalu hingga 4 jam yang lalu
•    Kaku mayat tidak lengkap berarti korban meninggal sekitar 3-6 jam yang lalu
Kita gunakan range yang paling sempit yaitu irisan antara lebam mayat belum menetap dengan kaku mayat tidak lengkap, sehingga disimpulkan bahwa korban meninggal antara 3-4 jam yang lalu.


Saat kematian adalah antara 1 Maret 2012, 07:00 dikurangi 4 jam hingga 1 Maret 2012, 07:00 dikurangi 3 jam yaitu 1 Maret 2012, 3:00 hingga 1 Maret 2012, 04:00  (Gambar 3).
Dengan MW, dari data diatas kita cukup melihat pada juring “KAKU MAYAT TIDAK LENGKAP A”  sehingga jawaban adalah waktu antara pada juring tersebut yaitu 1 Maret 2012, 3:00 hingga 1 Maret 2012, 4.00  (Gambar 3). Jadi menentukan saat kematian menggunakan MW menghasilkan jawaban yang sama dengan perhitungan manual.

3.   Pada tanggal 1 Maret 2012 pukul 07:00 WIB ditemukan:
Korban laki-laki dengan posisi terlentang. Lebam mayat (+) pada punggung, tidak hilang bila ditekan. Kaku mayat (-) pada semua sendi. Abdomen korban berwarna kehijauan. Belum ada satupun larva pada tubuh korban. Kapan korban meninggal?
Dari data diatas disimpulkan bahwa:
•    Pembusukan sudah ada berarti korban meninggal lebih dari 18 jam yang lalu
•    Lebam mayat (+) dan menetap berarti korban meninggal lebih dari 4 jam yang lalu
•    Kaku mayat sudah menghilang (secondary flaccidity) berarti korban meninggal lebih dari 24 jam yang lalu
•    Belum ada larva pada tubuh korban, berarti korban meninggal kurang dari 26 jam yang lalu
Kita gunakan range yang paling sempit yaitu irisan antara secondary flaccidity dengan belum munculnya larva, sehingga disimpulkan bahwa korban meninggal antara 24-26 jam yang lalu.
Saat kematian adalah antara 1 Maret 2012, 07:00 - 26 jam hingga 1 Maret 2012, 07:00 - 24 jam.
Jawab: saat kematian korban adalah 28 Februari 2012, 05:00 hingga 28 Februari 2012, 07:00.  Area ini tidak terdapat pada juring manapun pada MW, dan menunjukkan keterbatasan MW.  (Gambar 4).

Kesimpulan dan Saran

     Menentukan saat kematian bukanlah hal mudah karena perubahan setelah kematian dipengaruhi oleh banyak faktor. Berbagai cara ilmiah diteliti oleh para ahli untuk menentukan perkiraan saat kematian tetapi hal itu rumit dan tidak praktis.
     Setelah melalui percobaan pengaplikasian MW pada beberapa kasus, MW terbukti dapat digunakan untuk menentukan saat kematian dengan praktis.  Dengan keterbatasan akan adanya beberapa syarat pengguanaan yang harus dipenuhi, diperlukan penelitian dan penyempurnaan lebih lanjut agar penentuan saat kematian menjadi lebih baik, cepat, tepat, dan murah.

Ucapan Terima Kasih
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ketua Departemen Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Kepala Instalasi Departemen Forensik dan Medikolegal RSUD Dr. Soetomo Surabaya, Koordinator Pendidikan Departemen Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Staf Departemen Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Dosen pembimbing kelompok yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan makalah ilmiah ini.



Daftar Pustaka



1.      Hariadi Apuranto, Mutahal. Tanatologi. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Edisi Ketujuh. Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; 2010. page 115–26.
2.      Derrick J. Pounder. Postmortem Changes and Time of Death [Internet]. University of Dundee; 1995 [cited 2013 Jul 7]. Available from: www.dundee.ac.uk/forensicmedicine/notes/timedeath.pdf
3.      Vincent J. DiMaio, Dominick DiMaio. Time of Death. Forensic Pathology. Second Edition. Floria: CRC Press LLC; 2001. page 21.
4.      Emma Lew, Evan Matshes. Postmortem Changes. Forensic Pathology Principle and Practice. London: Elsevier Academic Press; 2005. page 527 –554.



No comments: