photo source: http://www.winmentalhealth.com/images/therapy_success_honesty_truth_lies.jpg |
Sering kita mendengar ungkapan jujur ajur, yang artinya
berbuat jujur justru membawa kepada kehancuran. Lebih enak bohong sedikit atau
banyak untuk menutupi kesalahan, aman-nyaman-tentram-damai. Benarkah demikian?
Ada sebuah kisah menarik tentang seorang raja yang sudah
berumur. Raja itu tidak memiliki anak untuk mewarisi takhta kerajaannya. Karena
itu, Raja memutuskan untuk mengadopsi seorang anak dengan mengadakan suatu
kompetisi. Dari seluruh penjuru negeri, terpilihlah 10 anak terbaik yang
berhasil melalui berbagai macam ujian. Tibalah saatnya untuk menghadapi ujian
terakhir, ujian dari Raja. Titah raja, “Negeri ini adalah negeri agraris,
karena itu, aku harap bahwa penerusku dapat menghasilkan panen terbaik yang
pernah ada. Aku memberikan kepadamu masing-masing biji jagung, tanamlah dan
kembalilah dalam 3 bulan untuk memberikan hasilnya kepadaku!”.
Kemudian
masing-masing anak pergi dengan membawa biji jagung itu pulang kepada
keluarganya yang menunggu dengan cemas hasil pemilihan raja. Mereka pun mulai
menanam biji jagung itu. Setelah beberapa hari, ada seorang anak yang putus
asa. Sekalipun dia menanam dengan baik, menyiram, dan memupuk, namun biji itu
tidak tumbuh. Teman-temannya membujuknya untuk membeli saja di pasar karena toh
raja tidak mungkin dapat membedakan hasil dari biji jagung yang satu dengan
yang lain. Namun orang tuanya meneguhkan bahwa jika raja ingin sembarang
jagung, maka sang raja akan menyuruh mereka pergi dan membeli sembarang biji
untuk ditanam. Lebih baik datang dengan mengakui kegagalan daripada harus
menipu raja. Dan mereka pun merelakan, mungkin takhta itu memang bukan
untuknya.
Tiga bulan pun berlalu dan setiap anak pun datang menghadap
raja dengan mempertanggungjawabkan hasil panennya. Semua anak membawa panen
jagung yang sangat baik kecuali seorang anak yang gagal tadi. Raja pun bertanya
kepada mereka satu per satu, “Apakah ini hasil panen jagung dari biji yang
kuberikan?”, dan masing-masing mereka menjawab, “Ya, Yang Mulia!”. Lalu tibalah
raja pada anak terakhir yang gemetar ketakutan saat Raja bertanya padanya.
“Ampuni hamba, Yang Mulia. Segala cara telah hamba lakukan, namun biji itu
tidak tumbuh. Hamba siap dihukum.” Semua orang spontan riuh membicarakan
pengakuan anak ini.
Namun raja berkata, “Anak inilah yang pantas menjadi raja!”
Semua orang sontak terdiam, terkejut mendengar titah Raja mereka. “Biji jagung
yang kuberikan adalah biji yang sebelumnya telah direbus. Tidak akan ada jagung
yang tumbuh dari biji yang direbus. Ujian ini bukanlah mengenai ujian becocok
tanam, tapi ujian karakter, integritas, dan merupakan ujian dengan nilai yang
paling luhur. Jika seorang raja harus diuji kualitasnya, maka ia harus dapat
melalui godaan ketidakjujuran, dan anak ini lulus dalam ujian ini!”*
Sebuah kisah yang mengingatkan kita bahwa kita hidup dalam
lingkungan yang terobsesi pada kesuksesan. Lingkungan yang dipenuhi dengan
orang yang akan berusaha dengan berbagai cara untuk mendapat kesuksesan sekali
pun dengan cara yang tidak jujur.
Alkitab menuliskan kisah mengenai ketidakjujuran dalam Kisah
Para Rasul 5:1-11. Kisah Ananias dan Safira, sepasang suami istri yang akhirnya
mati karena mendustai Allah (4), mencobai Roh Tuhan (9). Jika melihat pada
Kisah 4, kita akan mengetahui bahwa pada masa itu, jemaat mula-mula, adalah
suatu kebiasaan bahwa setiap orang saling berbagi kepemilikan, segala sesuatu
adalah miik bersama (32). Dan salah satu cara yang dilakukan adalah dengan
menjual rumah atau ladangnya untuk dibagikan kepada sesama (34-37).
Begitu juga yang dilakukan oleh Ananias dan Safira, mereka
pun menjual sebidang tanah untuk dibagikan hasilnya. Yang membedakan adalah,
Barnabas menjual dan uangnya dipersembahkan untuk membantu orang yang lemah,
sedangkan Ananias dan Safira menjual tanah namun mereka menahan sebagian
hasilnya tanpa memberitahukan kepada rasul. Dan di sinilah letak kesalahan
mereka: Mereka telah merencanakan tindakan tidak jujur itu, melakukan tindakan
tidak jujur yaitu menahan sebagian, dan mengatakan hal yang tidak jujur di
depan para rasul.
Apa akibat dari ketidakjujuran mereka? Tidak main-main,
hukuman mereka adalah mati! Allah menghukum mereka begitu keras! Mengapa?
Supaya tindakan mereka tidak ditiru oleh jemaat lain dan supaya kisah ini jadi
peringatan keras bagi jemaat untuk tidak berdusta. Juga supaya mereka
menghormati kesucian Allah.
Hmmm...ngeri, ya, dampak dari ketidakjujuran Ananias dan
Safira? Jika demikian, masihkah jujur itu ajur? Bukankah tidak jujur itu yang
justru ajur?
Di zaman sekarang ini, mungkin hukuman Allah tidak secara
langsung kita terima seperti Ananias dan Safira. Tapi perlu kita semua ingat
bahwa hukuman itu tetap ada, melalui kejadian hidup sehari-hari. Hukuman bisa
datang melalui orang tua, guru, teman, ataupun yang lainnya. Hal yang perlu
kita ingat adalah kita memiliki Allah yang selalu mengawasi tingkah langkah
kita. Jadi sekalipun tidak ada orang yang melihat kejahatan kita, Allah
melihatnya. Kita bisa tidak jujur di hadapan manusia, tapi kita tidak bisa
tidak jujur di hadapan Allah.
Teman-teman, mungkin UAN dan UAS sudah berlalu. Mungkin ada
di antara kita yang sudah “terlanjur” tidak jujur saat ujian. Jika demikian,
masih ada kesempatan bagi kita untuk berbalik kepada Allah, mengakui kesalahan,
dan berjanji tidak akan mengulangi. Namun ujian kejujuran tidak hanya terjadi
saat UAN dan UAS saja, kan? Ujian itu terus terjadi dalam kehidupan kita
sehari-hari. Mungkin tentang kembalian berlebih yang diberikan kepada kita,
tentang berbicara apa adanya kepada teman dan tidak melebih-lebihkan, tidak
melakukan copy-paste dari internet untuk tugas sekolah tanpa mencantumkan
sumber, jujur saat tidak sengaja
merusakkan barang milik teman, dan lain-lainnya. Sekarang, beranikah kita
sebagai anak Tuhan mengambil komitmen untuk jujur di hadapan Allah dan sesama?
Oleh Cyntia Puspa
Pitaloka
Soli Deo Gloria!
Kisah mengenai raja disarikan dari http://www.worthydevotions.com/christian-devotional/yes-integrity-matters#disqus_thread
No comments:
Post a Comment