Friday, September 27, 2013

THEY SAY: JUJUR = AJUR?


photo source: http://www.winmentalhealth.com/images/therapy_success_honesty_truth_lies.jpg
Sering kita mendengar ungkapan jujur ajur, yang artinya berbuat jujur justru membawa kepada kehancuran. Lebih enak bohong sedikit atau banyak untuk menutupi kesalahan, aman-nyaman-tentram-damai. Benarkah demikian?

Ada sebuah kisah menarik tentang seorang raja yang sudah berumur. Raja itu tidak memiliki anak untuk mewarisi takhta kerajaannya. Karena itu, Raja memutuskan untuk mengadopsi seorang anak dengan mengadakan suatu kompetisi. Dari seluruh penjuru negeri, terpilihlah 10 anak terbaik yang berhasil melalui berbagai macam ujian. Tibalah saatnya untuk menghadapi ujian terakhir, ujian dari Raja. Titah raja, “Negeri ini adalah negeri agraris, karena itu, aku harap bahwa penerusku dapat menghasilkan panen terbaik yang pernah ada. Aku memberikan kepadamu masing-masing biji jagung, tanamlah dan kembalilah dalam 3 bulan untuk memberikan hasilnya kepadaku!”.


 Kemudian masing-masing anak pergi dengan membawa biji jagung itu pulang kepada keluarganya yang menunggu dengan cemas hasil pemilihan raja. Mereka pun mulai menanam biji jagung itu. Setelah beberapa hari, ada seorang anak yang putus asa. Sekalipun dia menanam dengan baik, menyiram, dan memupuk, namun biji itu tidak tumbuh. Teman-temannya membujuknya untuk membeli saja di pasar karena toh raja tidak mungkin dapat membedakan hasil dari biji jagung yang satu dengan yang lain. Namun orang tuanya meneguhkan bahwa jika raja ingin sembarang jagung, maka sang raja akan menyuruh mereka pergi dan membeli sembarang biji untuk ditanam. Lebih baik datang dengan mengakui kegagalan daripada harus menipu raja. Dan mereka pun merelakan, mungkin takhta itu memang bukan untuknya.

Tiga bulan pun berlalu dan setiap anak pun datang menghadap raja dengan mempertanggungjawabkan hasil panennya. Semua anak membawa panen jagung yang sangat baik kecuali seorang anak yang gagal tadi. Raja pun bertanya kepada mereka satu per satu, “Apakah ini hasil panen jagung dari biji yang kuberikan?”, dan masing-masing mereka menjawab, “Ya, Yang Mulia!”. Lalu tibalah raja pada anak terakhir yang gemetar ketakutan saat Raja bertanya padanya. “Ampuni hamba, Yang Mulia. Segala cara telah hamba lakukan, namun biji itu tidak tumbuh. Hamba siap dihukum.” Semua orang spontan riuh membicarakan pengakuan anak ini.

Namun raja berkata, “Anak inilah yang pantas menjadi raja!” Semua orang sontak terdiam, terkejut mendengar titah Raja mereka. “Biji jagung yang kuberikan adalah biji yang sebelumnya telah direbus. Tidak akan ada jagung yang tumbuh dari biji yang direbus. Ujian ini bukanlah mengenai ujian becocok tanam, tapi ujian karakter, integritas, dan merupakan ujian dengan nilai yang paling luhur. Jika seorang raja harus diuji kualitasnya, maka ia harus dapat melalui godaan ketidakjujuran, dan anak ini lulus dalam ujian ini!”*
Sebuah kisah yang mengingatkan kita bahwa kita hidup dalam lingkungan yang terobsesi pada kesuksesan. Lingkungan yang dipenuhi dengan orang yang akan berusaha dengan berbagai cara untuk mendapat kesuksesan sekali pun dengan cara yang tidak jujur.

Alkitab menuliskan kisah mengenai ketidakjujuran dalam Kisah Para Rasul 5:1-11. Kisah Ananias dan Safira, sepasang suami istri yang akhirnya mati karena mendustai Allah (4), mencobai Roh Tuhan (9). Jika melihat pada Kisah 4, kita akan mengetahui bahwa pada masa itu, jemaat mula-mula, adalah suatu kebiasaan bahwa setiap orang saling berbagi kepemilikan, segala sesuatu adalah miik bersama (32). Dan salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menjual rumah atau ladangnya untuk dibagikan kepada sesama (34-37).
Begitu juga yang dilakukan oleh Ananias dan Safira, mereka pun menjual sebidang tanah untuk dibagikan hasilnya. Yang membedakan adalah, Barnabas menjual dan uangnya dipersembahkan untuk membantu orang yang lemah, sedangkan Ananias dan Safira menjual tanah namun mereka menahan sebagian hasilnya tanpa memberitahukan kepada rasul. Dan di sinilah letak kesalahan mereka: Mereka telah merencanakan tindakan tidak jujur itu, melakukan tindakan tidak jujur yaitu menahan sebagian, dan mengatakan hal yang tidak jujur di depan para rasul.

Apa akibat dari ketidakjujuran mereka? Tidak main-main, hukuman mereka adalah mati! Allah menghukum mereka begitu keras! Mengapa? Supaya tindakan mereka tidak ditiru oleh jemaat lain dan supaya kisah ini jadi peringatan keras bagi jemaat untuk tidak berdusta. Juga supaya mereka menghormati kesucian Allah.
Hmmm...ngeri, ya, dampak dari ketidakjujuran Ananias dan Safira? Jika demikian, masihkah jujur itu ajur? Bukankah tidak jujur itu yang justru ajur?

Di zaman sekarang ini, mungkin hukuman Allah tidak secara langsung kita terima seperti Ananias dan Safira. Tapi perlu kita semua ingat bahwa hukuman itu tetap ada, melalui kejadian hidup sehari-hari. Hukuman bisa datang melalui orang tua, guru, teman, ataupun yang lainnya. Hal yang perlu kita ingat adalah kita memiliki Allah yang selalu mengawasi tingkah langkah kita. Jadi sekalipun tidak ada orang yang melihat kejahatan kita, Allah melihatnya. Kita bisa tidak jujur di hadapan manusia, tapi kita tidak bisa tidak jujur di hadapan Allah.
Teman-teman, mungkin UAN dan UAS sudah berlalu. Mungkin ada di antara kita yang sudah “terlanjur” tidak jujur saat ujian. Jika demikian, masih ada kesempatan bagi kita untuk berbalik kepada Allah, mengakui kesalahan, dan berjanji tidak akan mengulangi. Namun ujian kejujuran tidak hanya terjadi saat UAN dan UAS saja, kan? Ujian itu terus terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Mungkin tentang kembalian berlebih yang diberikan kepada kita, tentang berbicara apa adanya kepada teman dan tidak melebih-lebihkan, tidak melakukan copy-paste dari internet untuk tugas sekolah tanpa mencantumkan sumber,  jujur saat tidak sengaja merusakkan barang milik teman, dan lain-lainnya. Sekarang, beranikah kita sebagai anak Tuhan mengambil komitmen untuk jujur di hadapan Allah dan sesama?


Oleh Cyntia Puspa Pitaloka
Soli Deo Gloria!



No comments: